Sabtu, 05 Desember 2015

AL ITTIBA'




AL – ITTIBA’
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III
PG-PAUD Semester III
Dosen : Bpk. Drs. Rosid Ismail


592275_362899060413783_1808857393_n.jpg

Disusun oleh :
1.
Nurrul Prima Wistri
2.
Ellse Alfiani
3.
Erin Nurhayati



SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) Muhammadiyah Kuningan
Tahun Akademik 2012 - 2013
Jl.Raya Cigugur No.28 Telp. (0232) 874085 Fax. (0232) 871281 kuningan 45511
Website : www.umku.ac.id





KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah-Nya. Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Rosid Ismail selaku dosen pembimbing mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III. Penulis juga berterima kasih pada teman-teman yang telah memberi pengarahan dan petunjuk dalam pembuatan makalah ini. 
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari dosen pembimbing maupun teman-teman sangat penulis  harapkan tegur sapanya untuk perbaikan makalah ini dan selanjutnya.
Kepada Allah SWT, kami memohon taufik dan hidayah-Nya semoga dalam pembuatan makalah ini senantiasa dalam keridhaannya-Nya. Amin.


Kuningan,   Oktober 2013

Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah........................................................................... ........ 1
1.3  Tujuan...................................................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN
2.1  Definisi Ittiba’......................................................................................... 3
2.2  Wajibnya Ittiba’ Kepada Nabi Saw......................................................... 4
2.3  Tanda dan Bukti Ittiba’........................................................................... 7
2.4  Sarana Ittiba’.................................................................................. ........ 10
2.5  Ittiba Adalah Syarat Diterimanya Ibadah...................................... ........ 11

BAB III. PENUTUP
3.1  Kesimpulan.............................................................................................. 15

 



BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Ittiba’ berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 7:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Tanyakanlah kepada orang yang ahli dzikir jika kamu tidak mengetahuinya.”

Yang dimaksud dengan ahli dzikir adalah ilmu syari’at atau Al-Qur’an dan Hadits. Jadi muttabi’ itu ikut pendapat orang lain tetapi dia juga mengetahui asar hukum yang diikutinya itu. Oleh karena itu, sebagai muslim yang mampu berfikir sudah seharusnya menjadi muttabi’.
Yang boleh bertaqlid adalah orang-orang awam yang tidak mengetahui dalil Naqli, sedangkan untuk dalil Aqli maka hamper tidak ada orang yang diperbolehkan bertaqlid kecuali orang itu memang betul-betul bodoh dan tidak dapat menggunakan akalnya secara normal.
Sedangkan yang boleh di taqlid adalah mereka yang diketahui mengerti dan mentaati hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil yang benar. Bahkan para ulama menghukum haram bagi mereka yang bertaqlid kepada orang yang tidak mau memperdulikan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak diketahui keahliannya.
Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

1.2        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa rumusan masalah dalam kaitannya dengan ittiba, yaitu sebagai berikut:
          a.         Apa definisi makna ittiba’ ?
         b.         Menerangkan wajibnya ittiba’ kepada Nabi Saw ?
          c.         Apa saja tanda dan bukti ittiba’ ?
         d.         Apa sarana ittiba’ ?
          e.         Ittiba adalah syarat diterimanya ibadah ?

1.3         Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan antara lain:
          a.         Mengetahui definisi dari makna Ittiba’.
         b.         Mengetahui wajibnya ittiba’ kepada Nasi Saw.
          c.         Mengetahui tanda dan bukti ittiba’.
         d.         Menelusuri sarana ittiba’.
          e.         Mengetahui bahwa ittiba adalah syarat diterimanya ibadah.





                                                    BAB II
PEMBAHASA
2.1        DEFINISI  ITTIBA’
Kata “ittiba`” berasal dari bahasa Arab ittaba`a, yattabi`u, ittibaa`an, muttabi`un yang berarti “menurut” atau “mengikut”. Ittiba’ secara bahasa berarti iqtifa’ (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan). Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Ittiba` adalah lawan taqlid.
Adapun secara istilah ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : “Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’ (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul ‘Ilmi, 2/143).
Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba’ kepada Rasulullah SAW, seperti Firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:21).
Sedangkan syarat diterimanya ibadah seseorang yang disepakati oleh para ulama, ada dua:
Pertama, mengikhlaskan niat ibadah hanya kepada Allah.
Kedua, harus mengikuti dan cocok dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.

2.1.1        Macam-Macam Ittiba`
a.       Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
Ulama sepakat bahwa semua kaum muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjauhi laranganNya.
b.      Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
2.1.2        Tujuan Ittiba`
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.


2.2        WAJIBNYA ITTIBA’ KEPADA NABI SAW

Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [an Nisaa’: 115].

Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang wajibnya bagi setiap kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak hanya dalam masalah ibadah, namun juga wajib berittiba’ dalam masalah-masalah yang lain. Dengan ittiba’ ini, kita akan mendapatkan kemuliaan, kebahagiaan dan kemenangan.
Para sahabat, mereka mendapatkan kemuliaan, kemenangan, izzah, dengan sebab mereka ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika mereka tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sekali saja, maka mereka mendapatkan kekalahan, sebagaimana yang masyhur kita ketahui tentang kisah Perang Uhud. Pada Perang Uhud tersebut para sahabat mendapatkan kekalahan, karena pasukan pemanah tidak taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan itu disebabkan karena perbuatan mereka.
Allah berfirman:
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا ! قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya:
Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Ali Imran : 165].

Yang lebih menyedihkan lagi, umat Islam saat ini sudah sangat jauh dari ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan mereka mengerjakan syirik dengan bangga, mereka melakukan perbuatan bid’ah, melakukan kemaksiatan dan lainnya, yang menjadi sebab kehinaan bagi mereka. Maka tarbiyah (pendidikan) yang harus diutamakan kepada ummat ini, yaitu harus mengikuti perkataan Allah dan perkataan RasulNya, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat.
Sebagai contoh, Abu Bakar ash Shiddiq, seorang sahabat yang dijamin oleh Allah masuk surga, mengatakan :
لَسْتُ تَارِكاً شَيْئاً كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ عَمِلْتُ بِهِ ، فَإِنِّيْ أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئاً مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
            Artinya”
“Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang Rasulullah lakukan kecuali untuk aku amalkan, karena aku khawatir, jika aku tinggalkan perintah Rasulullah, maka aku akan sesat. [HR Bukhari, no. 3093, dan diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya, al Ibanah, I/245-246 no. 77]

Menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan menyebabkan kesesatan, sakitnya hati, bahkan matinya hati seseorang, dan akan membawa pada kebinasaan, kehinaan, adzab yang pedih. Orang yang sibuk dengan perbuatan sia-sia, tidak ada manfaatnya dan berbuat bid’ah, tidak mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang terhina.
Di dalam ayat-ayat al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih disebutkan tentang amal-amal yang diterima Allah dan ditolak. Supaya amal kita diterima Allah, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Dan kedua, ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى ، قِيْلَ أَبَى : وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
Artinya:
Setiap ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya,”Siapa yang enggan, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dialah yang enggan.” [HR Imam Bukhari no. 7280 dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu].

Barangsiapa yang menghendaki dimasukkan ke dalam surga, maka wajib baginya untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak boleh membuat yang baru dalam Islam, karena Islam sudah sempurna. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada golongan jin dan manusia, agar mereka semua ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada aqidah, syariat dan hakikat, kecuali yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam Tidak ada jalan yang selamat, kecuali jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seseorang tidak akan masuk ke surga dan mendapat keridhaan Allah, tidak mendapatkan kemuliaan, melainkan dengan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.


2.3        TANDA  DAN  BUKTI  ITTIBA
1.      Ta’dzim (hormat) kepada nash-nash syar’i.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” [QS. an-Nur (24): 51]
2.      Takut tergelincir dan berpaling dari kebenaran.
Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya seorang mumin adalah seseorang yang memandang dosa-dosanya seakan-akan seperti orang yang duduk di bawah gunung yang dia takut jika gunung itu menjatuhi dirinya. Sebaliknya, seorang fasiq adalah seseorang yang menganggap dosa-dosanya hanyalah bagaikan seekor lalat yang lewat di depan hidungnya, lalu dia menghalaunya” (HR. al-Bukhari)
Hasan al-Bashri berkata: “Seorang mukmin adalah seseorang yang beramal dalam ketaatan dengan penuh rasa takut (tidak diterima). Sedangkan seorang yang fajir adalah seseorang yang merasa aman walaupun bergelimang dalam perbuatan maksiat
3.      Meneladani Rasulullah saw, lahir maupun batin.
Hal ini dilakukan dengan ittiba’ secara totalitas kepada Rasulullah saw, sehingga tidak ada masalah aqidah, ibadah, amaliah, akhlak, moral, perundang-undangan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan lainnya, kecuali sesuai dengan yang telah dicontohkannya, yaitu yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
4.      Menjadikan syari’at beliau sebagai hukum, undang-undang dan penentu kebijakan.
Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian. kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al- Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.”
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” [
QS. an-Nisa' (4): 59 & 65]
5.      Ridho dengan hukum dan syari’at Rasulullah.
Rasulullah bersabda: “Yang dapat merasakan iman hanyalah seseorang yang ridho kepada Allah sebagai Rabbnya, islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya” (HR. Muslim)
Ber-uswah kepada Rasulullah saw ialah mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh beliau, baik berupa amalan sunnah atau pun wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW baik perkara itu makruh, apalagi yang haram. Jika beliau SAW mengucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau, jika beliau mengerjakan ibadah, maka kita mengikuti ibadah itu dengan tidak ditambah atau dikurangi. Jika beliau menganggungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya.
Begitu pula jika Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu maka kita juga harus meninggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu kekhususan bagi beliau Rasulullah SAW. Dan jika beliau mengagungkan sesuatu maka kita juga mengagungkannya, dan demikian seterusnya.
Jadi, beruswah kepada Rasulullah SAW berarti kita mengesakannya dalam hal mutaba’ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam beribadah. Hal ini merupakan konsekuensi dari ucapan syahadat Laa Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan rasulullah, jika hilang salah satu hal dari diri seseorang kedua kalimat persaksian tersebut maka belum dapat dikatakan seseorang tersebut sebagai muslim.
Namun perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu ber-uswah atau ber-ittiba’ kepada Rasulullah saw jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah-sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Oleh sebab itu jalan satu-satunya untuk ber-uswah kepada Rasulullah adalah dengan mempelajari sunnah-sunnah beliau – ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut Rasul) adalah ahlul bashirah (orang yang berilmu).
Selain itu, cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an agar kita senantiasa mengikuti sunnah berkaiatan dengan Ittiba' seperti :

“Barangsiapa yang menta’ati Rasul berarti dia menta’ati Allah.. ” (An-Nisa’:80)

“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya Allah akan memasukkannya ke dalam Syurga…” (An-Nisa’:13) … dan ayat-ayat yang lainnya.

Dan perkataan Rasulullah merupakan perkataan yang harus dipercaya, sebab “Dan tidaklah ia berkata-kata dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang disampaikan Allah kepadanya.” (An-Najm:4)
Bahkan Rasulullah mengingkari orang-orang yang beramal tetapi mereka tidak mau mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah :

“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim, 1718).
Dalam hadits ini ada faedah penting, yaitu : Niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi lebih baik dan akan diterima di sisi Allah , akan tetapi harus sesuai dengan cara yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu Nabi menutup jalan bagi orang yang suka mengada-ngada dalam ibadah dengan ucapan : “Siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku“.(HR. Bukhari). Dan ini berlaku bagi seluruh sunnah yang telah ditetapkan beliau.
Maka dengan demikian kedudukan ittiba’ (mengikuti contoh kepada Ralullah saw) dalam Islam adalah wajib, setiap orang yang mengaku muslim mesti meninggikannya, bahkan ia merupakan pintu bagi seseorang setelah masuk Islam. Sehingga Ittiba’ kepada Rasulullah adalah salah satu syarat agar diterimanya amal seseorang.

2.4        SARANA  ITTIBA’
1.      Taqwa dan takut kepada Allah swt.
Hal ini dikarenakan orang yang bertaqwa dan takut kepada-Nya, maka ia akan mendapatkan furqon (pembeda), yang akan menuntunnya untuk membedakan yang haq dengan yang bathil.
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon…” [Qs. al-Anfal (8): 29]
2.      Ikhlas kepada Allah swt dalam mencari kebenaran.
Ibnu Taymiyyah berkata: “Demikian pula halnya orang yang berpaling dari ittiba’ kepada kebenaran karena mengikuti hawa nafsunya, maka hal ini hanya akan mendatangkan kebodohan dan kesesatan hingga mematikan hatinya dari mengetahui kebenaran yang sangat gamblang sekalipun…” (al-Fatawa 10/10)
3.      Berserah diri dan tadharru’ (merendahkan diri) kepada Allah serta menampakkan kebutuhan kepada-Nya.
Bahkan hal ini dapat dianggap sebagai salah satu sarana yang paling utama, sebagaimana sikap Rasul
4.      Mempelajari hukum-hukum syar’i.
Karena tidak ada sarana untuk mengamalkan hukum-hukum Islam dan ittiba’ kepada Rasulullah kecuali dengan mempelajari ajaran wahyu dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
5.      Memahami dan mentadabburi nash-nash yang shahih.
Semoga kita senantiasa mengikuti Rasulullah saw dalam melaksanakan syari’at agama yang sangat kita cintai ini. Amin.
2.5        ITTIBA’  ADALAH  SYARAT  DITERIMANYA  IBADAH
Al-Ittiba’ اَلْاِتِّبَاعُ  (Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad SAW) merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّمُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ), yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad  dalam segala hal, dengan firman-Nya :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]
Dan Rasulullah saw juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]
Itulah tadi dua syarat yang menjadikan ibadah seseorang diterima dan diberi pahala oleh Allah, sebagaimana firman-Nya :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]
Berkata Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang diterima (dan diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai dengan syari’at Rasulullah .
Jadi kedua syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :
“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas semata karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan Nabi ”.
Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah semata dan cocok dengan tuntunan Rasulullah niscaya amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput dari perhatian orang banyak karena hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak  memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka amalnya akan baik”.
Perlu diketahui bahwa sikap ittiba’ (berupaya mengikuti tuntunan Nabi Muhammad saw) tidak akan tercapai / terwujud kecuali apabila amal ibadah yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam 6 (enam) perkara, yaitu :
1.    SEBAB ( اَلسَّبَبُ )
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya: ada orang melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad r. Sholat Tahajjud adalah ibadah yang dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak ada syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.
2.    JENIS ( اَلْجِنْسُ )
Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila seseorang menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban, maka hal ini tidak sah karena jenis yang boleh dijadikan untuk korban adalah unta, sapi dan kambing.
3.    BILANGAN ( اَلْعَدَدُ )
Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh Allah. Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat dengan sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah karena tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad.
4.    TATA CARA ( اَلْكَيْفِيَّةُ )
Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif.
5.    WAKTU ( اَلزَّمَانُ )
Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.
6.    TEMPAT ( اَلْمَكَانُ )
Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid (seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.


 



BAB III
PENUTUP
3.1        Kesimpulan
Secara istilah ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : “Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’ (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul ‘Ilmi, 2/143).
Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba’ kepada Rasulullah SAW,
Bagi siapapun yang berkeinginan menjadi umat Rasulullah saw yang benar, taat dan patuh, hendaknya mengikuti apa yang beliau perintahkan (ittiba’) dan jangan mengikuti apa bukan dari rasulullah saw dan jangan sembarangan mengikuti apa yang bukan datang dari beliau melalui lisannya para ulama dan salafushalih karena tidak mengetahui dasar hukum (taklid). Begitupun janganlah kita termasuk umat beliau yang memilah dan memilih ajaran, yang mudah-mudah dilaksanakan yang dianggap sukar ditinggalkan. Pada dasarnya Islam datang membawa kemudahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar