AL – ITTIBA’
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan III
PG-PAUD Semester III
Dosen : Bpk. Drs. Rosid Ismail

Disusun
oleh :
1.
|
Nurrul
Prima Wistri
|
2.
|
Ellse
Alfiani
|
3.
|
Erin
Nurhayati
|
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) Muhammadiyah Kuningan
Tahun Akademik 2012 - 2013
Jl.Raya Cigugur No.28 Telp. (0232) 874085 Fax.
(0232) 871281 kuningan 45511
Website : www.umku.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah-Nya. Makalah ini
disusun untuk memenuhi mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III.
Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Rosid Ismail selaku dosen pembimbing
mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III. Penulis juga berterima kasih
pada teman-teman yang telah memberi pengarahan dan petunjuk dalam pembuatan
makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran dari dosen pembimbing maupun teman-teman sangat
penulis harapkan tegur sapanya untuk
perbaikan makalah ini dan selanjutnya.
Kepada Allah
SWT, kami memohon taufik dan hidayah-Nya semoga dalam pembuatan makalah ini senantiasa
dalam keridhaannya-Nya. Amin.
Kuningan, Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................... ........ 1
1.3
Tujuan...................................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1
Definisi Ittiba’......................................................................................... 3
2.2
Wajibnya Ittiba’
Kepada Nabi Saw......................................................... 4
2.3
Tanda dan Bukti Ittiba’........................................................................... 7
2.4
Sarana Ittiba’.................................................................................. ........ 10
2.5
Ittiba Adalah Syarat Diterimanya Ibadah...................................... ........ 11
BAB III. PENUTUP
3.1
Kesimpulan.............................................................................................. 15
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Ittiba’
berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 7:
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Tanyakanlah
kepada orang yang ahli dzikir jika kamu tidak mengetahuinya.”
Yang dimaksud dengan ahli dzikir adalah ilmu
syari’at atau Al-Qur’an dan Hadits. Jadi muttabi’ itu ikut pendapat orang lain
tetapi dia juga mengetahui asar hukum yang diikutinya itu. Oleh karena itu,
sebagai muslim yang mampu berfikir sudah seharusnya menjadi muttabi’.
Yang boleh bertaqlid adalah orang-orang awam yang
tidak mengetahui dalil Naqli, sedangkan untuk dalil Aqli maka hamper tidak ada
orang yang diperbolehkan bertaqlid kecuali orang itu memang betul-betul bodoh
dan tidak dapat menggunakan akalnya secara normal.
Sedangkan yang boleh di taqlid adalah mereka yang
diketahui mengerti dan mentaati hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil yang
benar. Bahkan para ulama menghukum haram bagi mereka yang bertaqlid kepada
orang yang tidak mau memperdulikan Al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak diketahui
keahliannya.
Ittiba’
ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami
tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu
kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui.”
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan
di atas, terdapat beberapa rumusan masalah dalam kaitannya dengan ittiba, yaitu
sebagai berikut:
a.
Apa definisi makna
ittiba’ ?
b.
Menerangkan wajibnya
ittiba’ kepada Nabi Saw ?
c.
Apa saja tanda dan
bukti ittiba’ ?
d.
Apa sarana ittiba’ ?
e.
Ittiba adalah syarat
diterimanya ibadah ?
1.3
Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis
mempunyai maksud dan tujuan antara lain:
a.
Mengetahui definisi dari makna Ittiba’.
b.
Mengetahui wajibnya ittiba’ kepada Nasi Saw.
c.
Mengetahui tanda dan bukti ittiba’.
d.
Menelusuri sarana ittiba’.
e.
Mengetahui bahwa ittiba adalah syarat
diterimanya ibadah.
BAB
II
PEMBAHASA
2.1
DEFINISI
ITTIBA’
Kata “ittiba`” berasal dari bahasa Arab ittaba`a,
yattabi`u, ittibaa`an, muttabi`un yang berarti “menurut” atau
“mengikut”. Ittiba’ secara bahasa berarti iqtifa’ (menelusuri jejak), qudwah
(bersuri teladan) dan uswah (berpanutan). Menurut ulama ushul, ittiba`
adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan
dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran
agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Ittiba`
adalah lawan taqlid.
Adapun secara istilah ittiba’ berarti mengikuti seseorang
atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan :
“Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau
adalah muttabi’ (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul ‘Ilmi, 2/143).
Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an
sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya
sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. Allah
memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba’ kepada Rasulullah SAW,
seperti Firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan
yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan)
hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:21).
Sedangkan syarat diterimanya ibadah seseorang yang
disepakati oleh para ulama, ada dua:
Pertama, mengikhlaskan niat ibadah hanya
kepada Allah.
Kedua,
harus mengikuti dan cocok dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
2.1.1
Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
Ulama sepakat bahwa semua kaum
muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjauhi
laranganNya.
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang
membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba`
itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh
kepada yang lain.
Pendapat yang lain membolehkan
berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul
anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
2.1.2
Tujuan Ittiba`
Dengan
adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam,
ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian,
tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan
dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan
dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
2.2
WAJIBNYA ITTIBA’ KEPADA NABI SAW
Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya:
Artinya:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
[an Nisaa’: 115].
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang wajibnya bagi setiap
kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak hanya
dalam masalah ibadah, namun juga wajib berittiba’ dalam masalah-masalah yang
lain. Dengan ittiba’ ini, kita akan mendapatkan kemuliaan, kebahagiaan dan
kemenangan.
Para sahabat, mereka mendapatkan kemuliaan, kemenangan,
izzah, dengan sebab mereka ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Ketika mereka tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sekali saja, maka mereka mendapatkan kekalahan, sebagaimana yang
masyhur kita ketahui tentang kisah Perang Uhud. Pada Perang Uhud tersebut para
sahabat mendapatkan kekalahan, karena pasukan pemanah tidak taat kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan itu disebabkan karena perbuatan
mereka.
Allah berfirman:
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم
مِّثْلَيْهَا ! قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
Artinya:
Artinya:
“Dan Mengapa ketika kamu ditimpa
musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua
kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata:
“Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Ali Imran : 165].
Yang lebih menyedihkan lagi, umat Islam saat ini sudah
sangat jauh dari ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bahkan mereka mengerjakan syirik dengan bangga, mereka melakukan perbuatan
bid’ah, melakukan kemaksiatan dan lainnya, yang menjadi sebab kehinaan bagi
mereka. Maka tarbiyah (pendidikan) yang harus diutamakan kepada ummat ini,
yaitu harus mengikuti perkataan Allah dan perkataan RasulNya, sebagaimana yang
dilakukan oleh para sahabat.
Sebagai contoh, Abu Bakar ash Shiddiq, seorang sahabat yang
dijamin oleh Allah masuk surga, mengatakan :
لَسْتُ تَارِكاً شَيْئاً كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ عَمِلْتُ بِهِ ، فَإِنِّيْ أَخْشَى إِنْ
تَرَكْتُ شَيْئاً مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
Artinya”
Artinya”
“Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang Rasulullah lakukan
kecuali untuk aku amalkan, karena aku khawatir, jika aku tinggalkan perintah
Rasulullah, maka aku akan sesat. [HR Bukhari, no. 3093, dan diriwayatkan oleh
Ibnu Baththah dalam kitabnya, al Ibanah, I/245-246 no. 77]
Menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
akan menyebabkan kesesatan, sakitnya hati, bahkan matinya hati seseorang, dan
akan membawa pada kebinasaan, kehinaan, adzab yang pedih. Orang yang sibuk
dengan perbuatan sia-sia, tidak ada manfaatnya dan berbuat bid’ah, tidak
mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka pada hakikatnya
mereka adalah orang-orang yang terhina.
Di dalam ayat-ayat al Qur`an dan hadits-hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih disebutkan tentang amal-amal yang
diterima Allah dan ditolak. Supaya amal kita diterima Allah, maka harus
memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Dan kedua, ittiba’ kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى ،
قِيْلَ أَبَى : وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟
قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
Artinya:
Artinya:
“Setiap ummatku akan masuk surga,
kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya,”Siapa yang enggan, ya Rasulullah?”
Rasulullah menjawab,”Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia masuk surga. Dan
barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dialah yang enggan.” [HR Imam Bukhari no.
7280 dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu].
Barangsiapa yang menghendaki dimasukkan ke dalam surga, maka
wajib baginya untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak
boleh membuat yang baru dalam Islam, karena Islam sudah sempurna. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada golongan jin dan manusia, agar
mereka semua ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada
aqidah, syariat dan hakikat, kecuali yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam Tidak ada jalan yang selamat, kecuali jalan yang ditempuh
oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seseorang tidak akan masuk ke
surga dan mendapat keridhaan Allah, tidak mendapatkan kemuliaan, melainkan
dengan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2.3
TANDA DAN BUKTI ITTIBA
1. Ta’dzim (hormat) kepada nash-nash
syar’i.
“Sesungguhnya jawaban orang-orang
mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili
di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung” [QS.
an-Nur (24): 51]
2. Takut tergelincir dan berpaling dari
kebenaran.
Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya
seorang mumin adalah seseorang yang memandang dosa-dosanya seakan-akan seperti
orang yang duduk di bawah gunung yang dia takut jika gunung itu menjatuhi
dirinya. Sebaliknya, seorang fasiq adalah seseorang yang menganggap
dosa-dosanya hanyalah bagaikan seekor lalat yang lewat di depan hidungnya, lalu
dia menghalaunya” (HR. al-Bukhari)
Hasan al-Bashri berkata: “Seorang mukmin adalah seseorang yang beramal dalam ketaatan dengan penuh rasa takut (tidak diterima). Sedangkan seorang yang fajir adalah seseorang yang merasa aman walaupun bergelimang dalam perbuatan maksiat“
Hasan al-Bashri berkata: “Seorang mukmin adalah seseorang yang beramal dalam ketaatan dengan penuh rasa takut (tidak diterima). Sedangkan seorang yang fajir adalah seseorang yang merasa aman walaupun bergelimang dalam perbuatan maksiat“
3. Meneladani Rasulullah saw, lahir
maupun batin.
Hal ini dilakukan dengan ittiba’
secara totalitas kepada Rasulullah saw, sehingga tidak ada masalah aqidah,
ibadah, amaliah, akhlak, moral, perundang-undangan, sosial
kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan lainnya, kecuali sesuai dengan yang telah
dicontohkannya, yaitu yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Menjadikan syari’at beliau sebagai
hukum, undang-undang dan penentu kebijakan.
Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian. kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al- Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.”
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” [QS. an-Nisa' (4): 59 & 65]
Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian. kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al- Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.”
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” [QS. an-Nisa' (4): 59 & 65]
5. Ridho dengan hukum dan syari’at
Rasulullah.
Rasulullah bersabda: “Yang dapat
merasakan iman hanyalah seseorang yang ridho kepada Allah sebagai Rabbnya,
islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai rasulnya” (HR. Muslim)
Ber-uswah kepada Rasulullah saw ialah mengerjakan sesuai
dengan apa yang dikerjakan oleh beliau, baik berupa amalan sunnah atau pun
wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW baik perkara
itu makruh, apalagi yang haram. Jika beliau SAW mengucapkan suatu ucapan, kita
juga berucap seperti ucapan beliau, jika beliau mengerjakan ibadah, maka kita
mengikuti ibadah itu dengan tidak ditambah atau dikurangi. Jika beliau
menganggungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya.
Begitu pula jika Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu maka
kita juga harus meninggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu
kekhususan bagi beliau Rasulullah SAW. Dan jika beliau mengagungkan sesuatu
maka kita juga mengagungkannya, dan demikian seterusnya.
Jadi, beruswah kepada Rasulullah SAW berarti kita mengesakannya
dalam hal mutaba’ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Allah Azza wa Jalla
dalam beribadah. Hal ini merupakan konsekuensi dari ucapan syahadat Laa Ilaha
Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan rasulullah, jika hilang salah satu hal dari
diri seseorang kedua kalimat persaksian tersebut maka belum dapat dikatakan
seseorang tersebut sebagai muslim.
Namun perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu
ber-uswah atau ber-ittiba’ kepada Rasulullah saw jika dia jahil (bodoh)
terhadap sunnah-sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Oleh sebab itu
jalan satu-satunya untuk ber-uswah kepada Rasulullah adalah dengan mempelajari
sunnah-sunnah beliau – ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut Rasul) adalah
ahlul bashirah (orang yang berilmu).
Selain itu, cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an agar kita
senantiasa mengikuti sunnah berkaiatan dengan Ittiba' seperti :
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul berarti dia menta’ati
Allah.. ” (An-Nisa’:80)
“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya Allah
akan memasukkannya ke dalam Syurga…” (An-Nisa’:13) … dan ayat-ayat yang
lainnya.
Dan perkataan Rasulullah merupakan perkataan yang harus
dipercaya, sebab “Dan tidaklah ia berkata-kata dari hawa nafsunya melainkan
wahyu yang disampaikan Allah kepadanya.” (An-Najm:4)
Bahkan Rasulullah mengingkari orang-orang yang beramal
tetapi mereka tidak mau mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan oleh
Rasulullah :
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya
dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim, 1718).
Dalam hadits ini ada faedah penting, yaitu : Niat yang baik
semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi lebih baik dan akan diterima
di sisi Allah , akan tetapi harus sesuai dengan cara yang pernah diajarkan oleh
Rasulullah saw. Oleh sebab itu Nabi menutup jalan bagi orang yang suka
mengada-ngada dalam ibadah dengan ucapan : “Siapa yang benci (meninggalkan)
sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku“.(HR. Bukhari). Dan ini berlaku
bagi seluruh sunnah yang telah ditetapkan beliau.
Maka dengan demikian kedudukan ittiba’ (mengikuti contoh
kepada Ralullah saw) dalam Islam adalah wajib, setiap orang yang mengaku muslim
mesti meninggikannya, bahkan ia merupakan pintu bagi seseorang setelah masuk
Islam. Sehingga Ittiba’ kepada Rasulullah adalah salah satu syarat agar
diterimanya amal seseorang.
2.4
SARANA ITTIBA’
1. Taqwa dan takut kepada Allah swt.
Hal ini dikarenakan orang yang
bertaqwa dan takut kepada-Nya, maka ia akan mendapatkan furqon (pembeda), yang
akan menuntunnya untuk membedakan yang haq dengan yang bathil.
“Hai orang-orang beriman, jika
kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqon…”
[Qs. al-Anfal (8): 29]
2. Ikhlas kepada Allah swt dalam
mencari kebenaran.
Ibnu Taymiyyah berkata: “Demikian
pula halnya orang yang berpaling dari ittiba’ kepada kebenaran karena mengikuti
hawa nafsunya, maka hal ini hanya akan mendatangkan kebodohan dan kesesatan
hingga mematikan hatinya dari mengetahui kebenaran yang sangat gamblang
sekalipun…” (al-Fatawa 10/10)
3. Berserah diri dan tadharru’
(merendahkan diri) kepada Allah serta menampakkan kebutuhan kepada-Nya.
Bahkan hal ini dapat dianggap
sebagai salah satu sarana yang paling utama, sebagaimana sikap Rasul
4. Mempelajari hukum-hukum syar’i.
Karena tidak ada sarana untuk mengamalkan hukum-hukum Islam
dan ittiba’ kepada Rasulullah kecuali dengan mempelajari ajaran wahyu dari
al-Qur’an dan as-Sunnah.
5. Memahami dan mentadabburi nash-nash
yang shahih.
Semoga kita senantiasa mengikuti
Rasulullah saw dalam melaksanakan syari’at agama yang sangat kita cintai ini.
Amin.
2.5
ITTIBA’ ADALAH SYARAT DITERIMANYA
IBADAH
Al-Ittiba’ اَلْاِتِّبَاعُ (Mengikuti
Tuntunan Nabi Muhammad SAW) merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa
Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّمُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ),
yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai
dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan
secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka
ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis
(niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi
Muhammad dalam segala hal, dengan firman-Nya :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan
apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS.
Al Hasyr : 7]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]
Dan Rasulullah saw juga telah memperingatkan agar meninggalkan
segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau,
sebagaimana sabda beliau:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa
mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu
tertolak”. [HR. Muslim]
Itulah tadi dua syarat yang menjadikan ibadah seseorang diterima dan
diberi pahala oleh Allah, sebagaimana firman-Nya :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang
siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]
Berkata Ibnu Katsir
di dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang diterima (dan
diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai
dengan syari’at Rasulullah .”
Jadi kedua syarat ini haruslah ada pada
setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang
satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini berkata
Al Fudhoil bin ‘Iyadh
:
“Sesungguhnya
andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak
sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak diterima. Dan
andaikata amalan itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi
tidak ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan
benar. Ikhlas semata karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan
Nabi ”.
Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas
karena Allah semata dan cocok dengan tuntunan Rasulullah niscaya amal itu akan
diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari
dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak dan tidak diterima oleh
Allah I. Hal inilah yang sering luput dari perhatian orang banyak karena hanya
memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh
karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau
niatnya baik maka amalnya akan baik”.
Perlu diketahui bahwa sikap ittiba’ (berupaya mengikuti
tuntunan Nabi Muhammad saw) tidak akan tercapai / terwujud kecuali apabila amal
ibadah yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam 6 (enam) perkara, yaitu :
1.
SEBAB ( اَلسَّبَبُ )
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang
tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya:
ada orang melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih
bahwa malam itu adalah malam Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad r. Sholat Tahajjud
adalah ibadah yang dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut
yang tidak ada syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.
2.
JENIS ( اَلْجِنْسُ )
Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya:
bila seseorang menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban,
maka hal ini tidak sah karena jenis yang boleh dijadikan untuk korban adalah
unta, sapi dan kambing.
3.
BILANGAN ( اَلْعَدَدُ )
Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya hal
itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh
Allah. Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rokaat atau sholat Shubuh 3
rokaat dengan sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah karena tidak
sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad.
4.
TATA CARA ( اَلْكَيْفِيَّةُ )
Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu
baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata
cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an
Al-Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif.
5.
WAKTU ( اَلزَّمَانُ )
Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya
Idul Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri,
atau melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya,
maka penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah
karena tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh syari’at Islam,
yaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha
hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq
ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul
Fitri.
6.
TEMPAT ( اَلْمَكَانُ )
Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah
Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid
(seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. Sebab
tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di Masjidil Haram saja, dan ibadah
i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Secara istilah ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau
suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : “Setiap
orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah
muttabi’ (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul ‘Ilmi, 2/143).
Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti
menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul
berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri
langkahnya. Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba’ kepada
Rasulullah SAW,
Bagi siapapun yang
berkeinginan menjadi umat Rasulullah saw yang benar, taat dan patuh, hendaknya
mengikuti apa yang beliau perintahkan (ittiba’) dan jangan mengikuti apa bukan
dari rasulullah saw dan jangan sembarangan mengikuti apa yang bukan datang dari
beliau melalui lisannya para ulama dan salafushalih karena tidak mengetahui
dasar hukum (taklid). Begitupun janganlah kita termasuk umat beliau yang
memilah dan memilih ajaran, yang mudah-mudah dilaksanakan yang dianggap sukar
ditinggalkan. Pada dasarnya Islam datang membawa kemudahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar