Sabtu, 05 Desember 2015

BERMAIN SEBAGAI SARANA BELAJAR ANAK USIA DINI



KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Kesehatan.
            Penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kesehatan Gizi PG-PAUD Semester IV. Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam penulisan makalah ini. Walaupun makalah ini belum sempurna tetapi penulis merasa bangga terhadap hasil yang dicapai.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca pada umumnya. Kritik yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.

Kuningan,   Mei 2014


Penulis



DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………       i          
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….        ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………       iii
BAB  I       PENDAHULUAN…………………………………………………….        1
                                      1.1            Latar Belakang…………………………………………………………  1
                                      1.2            Rumusan Masalah……………………………………………………...  2
                                      1.3            Tujuan Penulisan……………………………………………………….  3
BAB  II     BERMAIN SEBAGAI SARANA BELAJAR ANAK USIA DINI……          4
                                      2.1            Teori Bermain……………………………………………………….....  4
                                      2.2            Fungsi dan Manfaat Bermain………………………………………….. 8
                                      2.3            Karakteristik Bermain………………………………………………….  11
                                      2.4            Macam-Macam Permainan…………………………………………….   13
                                      2.5            Perkembangan Kemampuan Bermain………………………………...    15
                                      2.6            Peran Guru dalam Kegiatan Bermain Bersama Anak………………...    17
                                      2.7            Strategi Penerapan Bermain dalam Pembelajaran…………………….    21
BAB  III    PENUTUP…………………………………………………………….         25
                                      3.1            Kesimpulan…………………………………………………………….  25
                                      3.2            Saran…………………………………………………………………...  26
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..        27




BAB I
PENDAHULUAN

                        1.1      Latar Belakang
Upaya pemanfaatan bermain untuk kepentingan perkembangan dan belajar anak sudah sejak lama dirintis oleh para ahli pendidikan anak usia dini. Misalnya, Frederich Froebel (1782-1852) mengamati dan mempelajari aktivitas bermain anak dalam upaya mengembangkan program pendidikan yang disebut dengan Kindergarten. Berdasarkan hasil pengamatannya, ia mengembangkan program pendidikan yang berorientasi pada kegiatan.
Maria Montessori (1870-1952) juga melakukan pengamatan terhadap aktivitas bermain anak. Atas dasar hasil pengamatannya itu, ia mengembangkan program pendidikan anak berbasis aktivitas yang dikenal dengan metode Montessori.
Oleh dua tokoh diatas, pengamatan terhadap aktivitas bermain anak  dijadikan sebagai sumber ide dalam mengembangkan program pendidikan. Namun, meskipun anak terlibat aktif dalam manipulasi bahan-bahan pembelajaran, mereka melakukannya secara tertuntun sehingga masih belum merupakan aktivitas bermain yang utuh.
Barulah pada tahun 1960-an, inovasi penggunaan bermain untuk kepentingan pembelajaran dilakukan secara lebih nyata. Melalui gerakan Nursery School di inggris dan reformasi TK di Amerika Serikat, bermain mulai diterima sebagai sesuatu yang sah dalam pendidikan anak usia dini. Para pendidik di lembaga-lembaga pendidikan tersebut mengamati aktivitas bermain anak dan melihat apa yang anak lakukan dalam bermain ternyata memuat sesuatu yang potensial untuk belajar. Mereka melihat bagaimana anak menguji ide-ide, mengabstraksikan informasi, dan melakukan sesuatu berdasarkan pada informasi tersebut melalui bermain. Aktivitas bermain yang penyelenggaraan program pendidikan. Para ahli pendidikan anak usia dini lazimnya mengakui akan peran bermain dalam proses perkembangan dan belajar anak. Banyak hasil penelitian yang juga turut mendukung pandangan bahwa bermain memiliki pengaruh positif yang kuat terhadap perkembangan dan belajar anak. Oleh karena itu, pemahaman akan konsep bermain dan keterkaitannya dengan perkembangan dan belajar anak merupakan sesuatu yang diperlukan oleh para guru untuk dapat melakukan upaya-upaya pembaruan pendidikan anak usia dini secara tepat.
                          1.2      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa rumusan masalah dalam kaitannya dengan Bermain Sebagai Sarana Belajar  Anak, yaitu sebagai berikut:
                         a.            Bagaimana Teori Bermain itu?
                        b.            Fungsi dan Manfaat Bermain?
                         c.            Apa Karakteristik Bermain itu?
                        d.            Macam-Macam Permainan?
                         e.            Perkembangan Kemampuan Bermain?
                         f.            Peran Guru dalam Kegiatan Bermain Bersama Anak?
                        g.            Strategi Penerapan Bermain dalam Pembelajaran?

                        1.3      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan karya imiah ini adalah sebagai berikut :
                         a.            Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia.
                        b.            Menjadikan bermain sebagai pengaruh positif yang kuat terhadap perkembangan belajar anak.
                         c.            Menjadikan bermain sebagai sumber dalam mengembangkan program pendidikan.
                        d.            Mendorong Guru/Para Penddik untuk berinovasi dalam menciptakan permainan yang bersifat educative.
 



BAB II
BERMAIN
SEBAGAI SARANA BELAJAR ANAK USIA DINI
                     2.1         Teori Bermain
                                           2.1.1            Pengertian Bermain
Istilah bermain merupakan konsep yang perlu dipahami dengan baik agar tidak terjadi kesalahan dalam menilai kegiatan yang dilakukan oleh orang dewasa bersama anak, khususnya bersama anak usia balita. Pada dasarnya, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan anak secara berulang-ulang semata-mata demi kesenangan dan tidak ada tujuan atau sasaran akhir yang ingin dicapainya. Jadi, khususnya pada anak usia balita, apapun kegiatan yang dilakukan, selama membuat anak merasa senang, dapat dikategorikan sebagai bermain. Kegiatan bermain yang dilakuka oleh anak, dapat dengan mengunakan alat ataupun tanpa alat permainan, dilakukan dimana saja, kapan saja.
Bermain merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan karena itu akan lebih mudah bagi anak untuk menyerap berbagai informasi baru yang ia tanggapi dengan sikap yang positif dan tanpa paksaa.
Dengan demikian, yang menjadi tantangan bagi orang dewasa adalah bagaimana memanfaatkan kegiatan bermain untuk membantu anak belajar dalam suasana hati yang menyenangkan dan tanpa beban. pada si anak, maksudnya atas prakarsa anak, dipacu oleh anak Caranya, anatara lain dengan mengupayakan agar kegiatan yang dilakukan berpusat dan mengikuti gaya anak.

                                           2.1.2            Teori-Teori Mengenai Bermain
                                                      1)            Teori Psikoanalisis
Menurut Sigmund Freud bermain mempunyai nilai yang sama, seperti fantasi atau lamunan. Melalui bermain ataupun berkhayal, seseorang dapat memproyeksikan harapan-harapan maupun konflik-konflik pribadinya, Freund yakin bahwa bermain memegang peran penting dalam perkembangan emosi anak. Karena melalui bermain anak dapat mengeluarkan seluruh perasaan negatifnya, seperti pengalaman yang tidak menyenangkan atau traumatik, harapan-harapan yang tidak terwujud dalam realitas hidupnya. Melalui bermain anak dapat mengambil peran aktif sebagai pemrakarsa dan memindahkan perasaan negatifnya ke objek atau orang pengganti. Sebagai contoh, setelah anak menjalani hukuman fisik dari gurunya, pada saat bermain ia dapat menyalurkan perasaan marahnya dengan cara memukul-mukul boneka yang ia andaikan sebagai gurunya. Tindakannya dirasakan tidak mengancam dirinya karena dilakukan dalam situasi bermain, dan ia pun merasa puas sebab dapat menyalurkan perasaan negatifnya.
Freud tidak mengemukakan pengertian bermain, tetapi lebih memandang bermain sebagai cara yang digunakan anak untuk mengatasi masalahnya.

                                                      2)            Teori Kognitif
                                                       a.            Jean Piaget
Perkembangan kognitif berlangsung melampaui tahapan-tahapan tertentu, sampai pada akhirnya proses berfikir anak akan menyamai orng dewasa. Dlam bermain, anak akan melakukan aktivitas yang sesuai dengan perkembangan kognitif yang sedang dijalaninya. Misalnya anak usia tiga sampai enam tahun akan terlibat di dalam kegiatan bermain khayal. Kegiatan bermain yang lebih kompleks belum dapat mereka lakukan karena kemampuan kognitif dan sosialnya belum memadai.
Piaget menganggap bermain bukan hanya mencerminkan perkembangan kognitif anak, tetapi juga memberikan sumbangan terhadap perkembangan kognitif itu sendiri. Pada saat bermain, anak tidak belajar mempraktikkan dan mengkonsolidasikan keteramppilan yang baru diperolehnya.
Menurut Piaget, peranan praktik dan konsolidasi melalui bermain sangat penting karena keterampilan yang baru diperoleh akan segera hilang bila tidak dipraktikkan dan dikonsolidasikan. Perkembangan bermain berhubungan dengan perkembangan kognitif seseorang karena itu taraf kecerdasan anak akan mempengaruhi kegiatan bermainnya. Apabila kecerdasan anak berada di bawah rata-rata anak seusianya maka kegiatan bermainnya juga tidak sesuai dengan usianya. Misalnya, anak yang tergolong terbelakang mental sedang, walaupun usianya sudah enam tahun, perilaku bermainnya setara dengan anak usia tiga tahunan. Sebaliknya,, anak yang sangat cerdas akan menampilkan perilaku bermain yang jauh berada di atas usianya.

                                                      b.            Lev Vygotsky
Vygotsky meyakini bahwa kegiatan bermain mempunyai peranan langsung terhadap perkembangan kognitif seorang anak. Pada mulanya anak tidak mampu berfikir secara abstrak karena bagi mereka meaning (makna) dan objek berbaur menjadi satu. Akibatnya, anak tidak dapat berfikir tentang suatu objek tanpa melhat objek yang sesungguhnya. Misalnya, anak tidak memahami konsep “kuda” tanpa melihat kuda sesungguhnya. Bermain khayal (simbolik) mempunyai peranan yang sangat berarti dan krusial dalam perkembangan berpikir abstrak.
Bermain merupakan self help tool.keterlibatan anak dalam kegiatan bermain dengan sendirnya menghasilkan kemajuan dalam perkembangan kognitifnya. Bermain akan memajukan Zone of Proximal Development (ZPD) anak, membantu mereka mencapai tingkatann yang lebih tinggi dalam memfungsikan kemampuannya sehingga mencapai tahap yang potensial.
ZPD adalah jarak antara tahap perkembangan aktual dengan tahap perkembangan yang potensial. Tahap perkembangan aktual ditentukan oleh pemecahan masalah yang dilakukan anak secara mandiri, sedangkan tahap perkembangan potensi ditentukan oleh pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau hasil kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten (Vygotsky dalam cole, et.al., 1978).
Dalam bermain, anak dapat menciptakan scaffolding secara mandiri baik dalam kontrol diri, penggunaan bahasa, daya ingat, dan kerja sama dengan sesame teman (Bodrova dan Leong dalam Tedjasaputra, 2003). Sebagai contoh, sehari-harianak sering kali menolak bila disuruh tidur, tetapi dalam situasi bermain khayal, dia akan naik ke tempat tidur tanpa protes. Karena dalam bermain, anak mampu mengedalikan dirinya sendiri sebab kerangka bermain berada dibawah kendali anak, atau dilakukan dalam siuasi imajiner. Bahwa selain untuk perkembangan kofnitif, bermain juga mempunyai peran yang penting bagi perkembangan sosial serat emosional anak.
                                                       c.            Jerome Bruner
Dalam teorinya mengenai bermain, Burner memberikan penekanan pada fungsi bermain sebagai saran untuk mengembangkan kreativitas dan fleksibilitas. Dalam bermain, yang penting bagi anak adalah makna berman bukan hasil akhirnya. Pada saat bermain, anak tidak memikirkan sasaran yang akan dicapai sehingga ia mampu bereksperimen dengan memadukan berbagai perilaku baru serta yang “tidak bisa”. Keadaan ini tidak dapat ia wujudkan bila sedang berada dalam suasana tertekan. Perilaku-perilaku yang secara rutin ia praktikkan dan pelajari berulang-berulang dalam situasi bermain akan terintegrasi dan bermanfaat untuk memantapkan pola perilakuya dalam kehidupan sehari-hari.

                        2.2      Fungsi dan Manfaat Bermain
Bermain memiliki peran penting dalam perkembangan anak pada hamper semua bidang perkembangan, baik perkembangan fisik-motorik, bahasa, intelektual, moral, social, maupun emosional.


                                           a.            Kemampuan Morotik
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa bermain memungkinkan anak bergerak secara bebas sehingga anak mampu mengembangkan kemampuan motoriknya (Paiget, 1962; Curtis, 1977). Pada saat bermain anak berlatih menyesuakan antara pikiran dan gerakan menjadi suatu keseimbangan. Menurut Piaget, anak terlahir dengan kemampuan refleks, kemudian ia belajar menggabungkan dua atau lebih gerak refleks, dan pada akhirnya ia mampu mengontrol gerakannya. Melalui bermain anak belajar mengontrol gerakannya menjadi gerak terkoordinasi.
                                          b.            Bermain Mengembangkan Kemampuan Kognitif
Menurut Piaget (1962), anak belajar memahami pengetahuan dengan berinteraksi melalui objek yang ada di sekitarnya. Bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan objek. Anak memiliki kesempatan menggunakan indranya, seperti menyentuh, mencium, melihat, dan mendengarkan untuk mengetahui sifat-sifat objek. Dari pengindraan tersebut anak memperoleh fakta-fakta, informasi, dan pengalaman yang akan menjadi dasar untuk berpikir abstrak. Jadi, bermain menjembatani anak dari berpikir konkret ke berpikir abstrak. Vygotsky (1976) menyatakan bahwa pada saat bermain, pikiran anak terbebas dari situasi kehidupan nyata yang menghambat anak berpik abstrak. Penelitian Hoorn (1993) menunjukkan bahwa bermain memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan kreatif.

                                           c.            Kemampuan Afektif
Setiap permainan memiliki aturan. Aturan akan diperkenalkan oleh teman bermain sedikit demi sedikit, tahap demi tahap sampai setiap anak memahami aturan bermain. Oleh karena itu, bermain akan melatih anak menyadari adanya aturan dan pentingnya memauhi aturan. Hal itu merupakan tahap awal dari perkembangan moral (afeksi).
                                          d.            Kemampuan Bahasa
Pada saat bermain anak menggunakan bahasa, baik untuk berkomunikasi dengan temannya maupun sekedar menyatakan pikirannya (thinking aloud). Sering kita menjumpai anak kecil bermain sendiri sambil mengucapakan kata-kata seakan-akan ia bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Ia sebenarnya sedang “membahasakan” apa yang ada dalam pikirannya. Menurut Vygotsky (1926) peristiwa seperti itu menggambarkan bahwa anak sedang dalam tahap menggabungkan pikiran dan bahasa sebagai satu kesatuan. Ketika anak bermain dengan temannya mereka juga saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa anak, dan itu berarti secara tidak langsung anak belajar bahasa.
                                           e.            Kemampuan Sosial
Pada saat bermain anak berinteraksi dengan anak yang lain. Interaksi tersebut mengajarkan anak cara merespons, memberi dan menerima, menolak atau setuju dengan ide dan perilaku anak yang lain. Hal itu sedikit demi sedikit akan mengurangi rasa egosentris anak dan mengembangkan kemampuan sosialnya.
                         2.3      Karakteristik Bermain
Menculnya aneka ragam pengertian tentang bermain bisa sisebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena istilah bermain digunakan dalam berbagai cara dan konteks kehidupan sehari-hari. Misalnya, seseorang berkata, “Pemain musik itu bermain sangat bagus”. Dalam ucapan tersebut bermain, bermain dimaksudkan sebagai penampilan dramatis dari si pemain musik.
Studi-studi tentang bermain dilakukan dalam berbagai disiplin seperti dalam ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Adanya keterlibatan para peneliti dari berbagai disiplin ini juga menyebabkan upaya mendefinisikan bermain dilakukan secara bervariasi. Bahkan ketika bermain diterima sebagai cara atau alat pembelajar atau pendidikan, para ahli pendidikan pun masih mendefinisikannya secara beragam.
Kriteria untuk menentukan apakah suatu kegiatan itu merupakan bermain atau bukan tidak selamanya dapat diamati. Kita tidak bisa menentukan apakah suatu kegiatan itu bermain atau bukan, hanya berdasarkan wujud kegiatannya, melainkan perlu pula mempertimbangkan alasan-alasan atau motif-motif yang mendorong dilakukannya kegiatan tersebut. Dengan demikian, suatu aktivitas yang merupakan bermain dalam kondisi tertentu bisa menjadi bukan bermain dalam kondisi yang lain. Misalnya, mengendarai sepeda yang dilakukan oleh para pembalap dalam suatu kejuaraan, berbeda dengan yang dilakukan sehari-hari oleh anak di depan rumah. Apa yang dilakukan oleh para pembalap tersebut dapat merupakan suatu pekerjaan atau profesi, tetapi yang dilakukan oleh anak-anak dapat merupakan aktivitas bermain.
Dalam hal ini terdapat tujuh ciri yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah sesuatu itu bermain atau bukan, yakni volutir, spontan, terfokus pada proses, memberi ganjaran secara intrinsik, menyenangkan, aktif, dan fleksibel (Solehuddin, 1996).
Pertama, bermain dilakukan secara voluntir. Bermain dilakukan oleh anak secara suka rela tanpa paksaan atau tekanan dari orang lain. Anak bermain atas keinginan dan kemauannya sendiri, bukan karena perintah orang lain.
Kedua, bermain itu spontan. Anak akan bermain kapan pun mereka mau. Bermain tidak dilakukan anak dengan menempuh prosedur perencanaan yang sistematik. Apa yang dilakukan anak dalam kegiatan bermain berlangsung begitu saja sesuai dengan munculnya keinginan anak untuk bermain.
Ketiga, kegiatan bermain lebih berorientasi pada proses dari pada terhadap hasil atau akhir kegiatan. Fokus dalam bermain adalah melakukan aktivitas bermain itu sendiri, bukan hasil atau akhir dari kegiatannya. Anak sering tidak peduli dengan akhir dari kegiatan yang dilakukan dalam bermain.
Keempat, bermain didorong oleh motivasi intrinsik. Maksudnya, yang mendorong anak untuk melakukan kegiatan bermain tersebut adalah kegiatan itu sendiri, bukan karena faktor-faktor luar yang bersifat ekstrinsik. Anak bermain karena menyukai kegiatan tersebut, bukan karena hal-hal yang bersifat instrumental karena faktor-faktor eksternal, misalnya didorong orang tua, untuk mendapatkan hadiah, dan lain-lain. Anak gembira karena melkukan kegiatan bermain tersebut, bukan karena hadiah atau karena ingin mendapat pujian dari orang lain.
Kelima, bermain itu pada dasarnya menyenangkan. Bukan bisa memberikan perasaan-perasaan positif bagi para pelakunya. Oleh karena itu, apa yang membuat anak senang atau puas dalam bermain adalah keterlibatannya dalam aktivitas bermain itu sendiri. Dilihat dari ciri ini, semakin aktivitas itu menyenangkan, maka hal tersebut semakin merupakan bermain. Sebaliknya, semakin aktivitas itu menyiksa atau menyakitkan, maka hal itu semakin bukan merupakan bermain.
Keenam, bermain itu bersifat aktif. Bermain memerlukan keterlibatan aktif dari para pelakunya. Sesuatu yang terjadi secara pasif walaupun voluntir dan menyenangkan, seperti mimpi, tidak dapat dikategorikan sebagai bermain.
Ketujuh, bermain itu bersifat fleksibel. Dengan ciri ini berarti anak yang bermain memiliki kebebasan untuk memilih jenis kegiatan yang ingin dilakukannya atau untuk beralih dari kegiatan bermain yang satu ke kegiatan yang lain
Dengan tujuh karakteristik di atas, secara sederhana bermain dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara voluntir, spontan, terfokus pada proses, didorong oleh motivasi intrinsik, menyenangkan, aktif, dan fleksibel.

                         2.4      Macam-Macam Permainan
Bentuk permainan anak sangat bervariasi. Ki Hajar Dewantara (1948) menulis bahwa H.Overbeck telah menghimpun ragam permainan dan nyanyian anak-anak yang ada di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 690 macam. Padahal setiap waktu permainan baru muncul sehingga jenis permainan senantiasa bertambah banyak. Dari berbagai jenis permainan itu pada dasarnya dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut.
                                    1.            Permainan Fisik
Anak usia 5-7 tahun sering berman kejar-kejaran, menangkap temannya, dan jatuh bergulingaan. Permainan seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Jadi, dengan bermain, fisik anak akan tumbuh menjadi sehat dan kuat untuk melakukan gerakan dasar.
                                    2.            Lagu Anak-Anak
Lagu anak-anak biasanya dinyanyikan sambil bergerak, menari, atau berpura-pura menjadi sesuatu atau seseorang. Berdasarkan sifatnya ada lagu yang humoris, ada yang mengandung teka-teki, dan ada pula yang mengandung nilai-nilai ajaran yang luhur. Unsur lagu yang menarik ialah adanya rhyme atau bunyi akhir yang sama.
                                    3.            Bermain Teka-Teki dan Berpikir Logis Matematis
Banyak permainan yang tujuannya mengembangkan kemampuan berpikir logis dan matematis. Salah satu di antaranya adalah lowok, suatu permainan yang menggunakan karet gelang. Dengan permainan ini, anak-anak belajar tentang ganjil dan genap, lebih banyak dan lebih sedikit.
                                    4.            Bermain dengan Benda-Benda
Permainan dengan objek seperti air, pasir, dan balok dapat membantu anak mengembangkan berbagai aspek perkembangan, Anak-anak dapat belajar ciri-ciri benda-benda tersebut. Misalnya, saat bermain air anak dapat mengenal sifat-sifat air. Air juga dapat digunakan untuk belajar konservasi volume zat cair dan belajar matematika. Balok dapat digunakan untuk membentuk berbagai macam bentuk bangun, belajar klasifikasi, dan mengembangkan imajinasi.
                                    5.            Bemain Peran
Jenis permainan ini antara lain meliputi sandiwara, drama, bermain peran, dan jenis permainan lain ketika anak memerankan orang lain. Permainan ini sangat baik untuk mengembangkan kemampuan bahasa, komunikasi, dan memahami peran-peran dalam masyarakat. Misalnya, anak bermain peran menjadi penjual dan pembeli. Berdasarkan permainan itu anak-anak diberi model uang, lalu ada anak yang berperan menjadi penjual dan pembeli. Berdasarkan permainan itu anak-anak belajar bahasa, yaitu komunikasi antara penjual dan pembeli, seperti menjajakan dagangan, menanyakan harga, dan menawar. Mereka juga belajar matematika melalui menimbang, mengukur, dan menghitung uang.

                        2.5      Perkembangan Kemampuan Bermain
Parten (1932) mengamati perkembangan bermain pada anak. Ia menemukan bahwa pola perkembangan bermain mengambarkan pula perkembangan sosial anak. Ia menemukan lima tingkat perkembangan sebagai berikut :
                                          a)            Bermain Sendiri
Pada mulanya anak asyik bermain sendiri (soliter play). Sifat egosentrisnya yang tinggi menyebabkannya bermain sendiri dan tidak peduli apa yang dimainka teman di sekelilingnya. Misalnya, ia menggunakan balok untuk membuat rumah atau menjadikannya mobil-mobilan.
                                          b)            Bermain secara Paralel dengan Temannya
Pada tahap bermain secara paralel (parallel play) ini anak bermain berdampingan dengan temannya, menggunakan benda-benda yang sejenis, misalnya bermain pasir, tetapi tiap anak bermain sendiri-sendiri. Kadang mereka saling melihat, saling member komentar, atau bercakap-cakap. Tahap ini disebut on looking play.
                                          c)            Bermain dengan Melihat Cara Temannya Bermain
Pada tahap ini anak yang tadinya bermain sendiri mulai melihat apa dan bagaimana temannya bermain. Ia sesekali berhenti bermain dan mengamati temannya bermain lalu menirunya. Tahap ini disebut cooperatve play.
                                         d)            Bermain secara Bersama-sama
Pada tahap ini anak mulai bermain bersama, beramai-ramai. Misalnya salah satu anak menyatakan bermain. “Elang dan anak ayam”, maka salah satu anak akan menjadi burung elang dan anak lain menjadi anak ayam. Burung elang mengejar anak-anak ayam yang berlarian. Tahap ini disebut cooperative play.
                                          e)            Bermain dengan Aturan
Pada tahap ini anak bermain bersama temannya dalam bentuk tim. Mereka menentukan jenis permainan yang akan mereka mainkan, biasanya dalam bentuk game. Mereka juga membicarakan mengenai aturannya, pembagian peran, dan siapa yang akan bermain lebih dahulu. Permainan jenis ini menunjukkan bahwa anak telah memiliki kemampuan sosial. Contoh permainan kooperatif antara lain ialah sepak bola, gobak todor (go back through door), dan bermain peran.
Permainan untuk anak usia dini sebaiknya tidak perlu banyak aturan. Bagi anak yang menurut Piaget perkembangan moralnya masih dalam taraf premoral atau moral realism awal, sulit baginya untuk memahami aturan yang kompleks.

                        2.6      Peran Guru dalam Kegiatan Bermain Bersama Anak
Keterlibatan guru dalam kegiatan bermain yang dilakukan anak sangat diperlukan, dimana guru dapat berfungsi untuk member dukungan pada anak di kala anak merasa dirinya tidak mampu, cemas, dan malu, dan bersikap responsive terhadap perilaku serta keingintahuan anak.
                                          1.            Beberapa Hasil Penelitian mengenai Peran Guru yang Kurang Menunjang Kegiatan Bermain Anak
Dari penelitian yang pernah dilakukan oleh File dan Kontos pada tahun 1993 di Amerika Serikat (Johnson, 1999), diperoleh hasil bahwa para guru lebih banyak member dukungan dalam aspek perkembangan kognitif dan kurang mengembangkan aspek sosial dari kegiatan bermain. Bila aspek social kurang diperhatikan, dampak negatif akan lebih dirasakan oleh anak yang kurang terampil dalam pertemanan. Anak-anak ini semakin tersisih dari teman-teman lainnya.
Grinder dan Johnson (Johnson,1999) melaporkan bahwa 27% dari waktu guru saat bermain bersama anak menunjukkan keterlibatan yang mengganggu kegiatan bermain anak (play-interfering). Perilaku guru yang secara kasat mata dapat mengganggu aktivitas bermain anak adalah mengambil alih permainan, memberikan instruksi, memberikan perintah atau mengajal anak bercakap-cakap saat dia sangat asyik dengan kegiatannya. Saat anak bermain konstruktif, sebaiknya tidak usah menginstuksikan anak untuk membuat suatu bentuk atau menyuruh anak meniru bentuk yang harus dibuat. Apabila guru  terlalu banyak ikut campur atau mau mempengaruhi anak maka akan mengganggu keberlangsungan kegiatan bermain anak.
Yang menjadi bagian penting dari peran guru dalam bermain bersama dengan anak adalah bagaimana guru melibatkan diri dan bukan pada seberapa sering guru melibatkan diri dalam kegiatan bermain bersama anak. Bila keterlibatan guru sesuai maka hal ini akan memperkaya pengalaman serta wawasan anak.
                                          2.            Beberapa Hasil Penelitian mengenai Dampak Positif dari Keterlibatan Guru dalam Aktivitas Bermain Bersama Anak
Apabila guru ikut bermain bersama anak, ada beberapa hasil positif yang teramati, yaitu :
a.       Lamanya(durasi) anak bermain bersama teman menjadi dua kali lipat dan biasanya, dibandingkan bila mereka dilepas untuk bermain sendiri tanpa guru.
b.      Anak-anak akan menampilkan kegiatan bermain kooperatif (tahap tertinggi dari kegiatan bermain social yang di kemukakan oleh Parten). Berarti dengan keikutsertaan guru, anak-anak mau melibatkan diri dalam kegiatan bermain yang lebih bersifat social.
c.       Kegiatan bermain yang dilakukan anak menunjukkan tahapan kognitif yang lebih tinggi.
d.      Dalam aktivitas membaca buku, ternyata anak-anak menunjukkan minat membaca dan menulis yang lebih tingggi.
                                          3.            Strategi untuk Pengayaan Anak melalui aktivitas Bermain
Dalam rangka melakukan pengayaan pada anak, guru perlu mengambil peran aktif. Ada tiga langkah yang perlu disiapkan (Johnson, 1999), yaitu sebagai berikut:
a.       Mempersiapkan sumber-sumber untuk bermain, termasuk di dalamnya waktu, ruangan, perlengkapan bermain, dan pengalaman bermain.
1)      Waktu untuk bermain perlu disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan di lakukan oleh anak.
2)      Ruang bermain
3)      Peralatan bermain.
4)      Pengalaman sosial.
b.      Observasi
Merupakan metode yang sangat sianjurkan untuk dilakukan oleh guru. Pengamatan yang hati-hati serta cermat akan membantu guru uuntuk mencari tahu mengenai apa yang dilakukan oleh anak didiknya. Observasi menjadi jembatan penghubung antara sumber-sumber untuk bermain dengan keterlibatan orang dewasa (guru).
c.       Keterlibatan guru
Pengalaman anak akan semakin kaya bila guru mampu untuk berinteraksi secara positif dengan anak. Interaksi secara positif ditandai oleh sikap guru yang mendukung serta tanggap terhadap perilaku maupun kebutuhan anak.
Ada beberapa peran guru (orang dewasa) yang berhasil diamati oleh sejumlah peneliti (Enz & Christiez, Jones & Reynolds, dan Roskos & Newman dalam Johnson, 1999)
                                          1)            Tidak terlibat (uninvolved), tidak menaruh perhatian terhadap kegiatan bermain anak.
                                          2)            Melihat (onlooker) dan mengamati apa yang dilakukan oleh anak dari jarak dekat.
                                          3)            Menjadi manajer panggung (stage manager), yaitu membantu anak untuk menyiapkan perlengkapan bermain bila diperlukan oleh anak, membantu memberi ide mengenai apa tema bermain.
                                          4)            Ikut berpartisipasi (coplayer) dalam kegiatan bermain bersama anak.
                                          5)            Memimpin kegiatan bermain (play leader). Dalam hal ini, guru ikut berperan serta dalam kegiatan bermain dan berusaha memperkaya serta memperluas wawasan anak.
                                          6)            Menjadi direktur atau instruktur, dalam hal ini guru berperan dalam mengendalikan kegiatan bermain dan mengarahkan perhatian anak pada materi yang bersifat akademis.
Apabila ditinjau dari beberapa peran tersebut, peran guru berada dalam suatu skala dari sama sekali tidak terlibat samapai kepada terlibat secara penuh untuk mengarahkan kegiatan anak.
Untuk meningkatkan kegiatan bermain simbolik dan mendorong permainan yang mengarah pada literacy (membaca, menulis), peran guru yang paling sesuai adalah antara : melihat, menjadi teman bermain, dan menjadi pemimpin. Kemampuan anak bisa diasah bila guru mempunyai banyak pengalaman dalam mengamati anak disertai niat dan minat yang kuat untuk membantu mengembangkan potensi anak. Peran guru dalam kegiatan bermain bersama anak mempunyai dua sisi yang bertentangan, yaitu menguntungkan dan merugikan. Akan tetapi, titik tolak terpenting adalah bagaimana guru melibatkan dirinya dalam kegiatan bermain bersama anak.

                        2.7      Strategi Penerapan Bermain dalam Pembelajaran
Secara garis besar, ada tiga cara yang dapat ditempuh guru dalam mengimplementasikan bermain untuk kepentingan pembelajaran. Pertama, bermain diterapkan melalui cara melengkapi perlengkapan kelas, dengan bahan dan peralatan bermain. Kedua, bermain diimplementasikan dengan cara menggunakan permainan-permainan sebagai teknik pembelajaran. Ketiga, bermain diimplemenatasikan dengan cara menciptakan suasan kelas yang memungkinkan anak untuk melakukan aktivitas belajar dalam suasana bermain.
Pembelajaran berbasis bermain tentunya tidak sekedar berupa permainan-permainan secara teknis-prosedural, melainkan juga harus mengakomodasikan sifat-sifat kegiatan bermain secara kontekstual, yaitu dalam kondisi apa aktivitas-aktivitas pembelajaran tersebut direalisasikan. Dalam hal ini kita berupaya menciptakan suasana kelas yang bersifat playful. Ada beberapa ciri dari pembelajaran yang bersifat playful, yakni:
(1)   menyenangkan,
(2)   mengakomodasi kebutuhan dan minat belajar anak,
(3)   mengakomodasi hal-hal yang terjadi secara spontan dan kontekstual,
(4)   relative informal atau tidak terstruktur,
(5)   relative fleksibel, dan
(6)   menekankan proses di samping hasil.
Agar anak dapat bermain dengan efektif, mereka perlu merasa bebas dan nyaman untuk berbuat, mencoba, menjelajah, dan menciptakan sesuatu. Diperlukan adanya intervensi dari guru untuk menciptakan suatu lingkungan bermain yang dapat menyediakan pengalaman yang kaya bagi anak, tetapi tidak liar. Guru perlu berperan dalam menciptakan situasi dan lingkungan bermain yang efektif bagi anak.
Secara lebih operasional yang perlu guru tampilkan dalam memfasilitasi aktivitas bermain anak, adalah sebagai berikut :


                              1)            Menyediakan dan Mendesain Lingkungan dan Bahan-bahan Bermain
Memilih bahan-bahan untuk aktivitas bermain anak yang sejalan dengan tujuan pembelajaran merupakan hal yang perlu di lakukan oleh guru. Dua aspek yang harus dipertimbangkan dalam memilih bahan-bahan yang digunakan untuk kegiatan bermain anak adalah jenis bahan dan sifat dari bahan itu.
Penataan area bermain dapat juga berpengaruh terhadap perilaku anak. Area bermain yang ditata dengan baik bisa memfasilitasi anak untuk bermain secara lebih terarah. Sebaliknya, area bermain yang tidak beraturan bisa membuat anak bingung.
                              2)            Mengatur Jadwal Kegiatan Bermain
Aktivitas-aktivitas yang memerlukan anak untuk berkonsentrasi lebih baik dijadwalkan pagi hari ketika mereka sedang segar dan penuh perhatian, sedangkan aktivitas bermain yang lebih konstruktif atau dramatis biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dari pada bermain yang banyak melibatan otot secara berulang-ulang dapat dilaksanakan siang hari atau akhir kegiatan.
                              3)            Mengamati dan Membimbing Aktivitas Bermain
Ada beberapa aktivitas yang guru perlu lakukan, yakni memberikan respons yang jelas kepada anak, membantu anak belajar bagaimana cara bermain yang baik, dan membantu anak dalam mengekspresikan emosi mereka.
                              4)            Menyediakan Panduan atau Arahan yang Diperlukan
Panduan atau arahan terutama diperlukan bila anak diminta untuk melakukan suatu permainan tertentu yang dikreasi atau dirancang oleh guru. Arahan ini sangat penting untuk membuat anak melakukan perilaku yang diharapkan dalam aktivitas bermain mereka.
                              5)            Menciptakan Suasana Lingkungan yang Kondusif
Suasan ini diperlukan untuk membuat anak merasa bebas berperilaku, tampil, mengeksplorasi, dan mencipta dalam aktivitas bermain mereka. Guru perlu menunjukkan kepada anak bagaimana cara memberi dukungan, bernegosiasi, saling berbagi, dan berkomunikasi satu sama lain secara positif. Dengan kata lain, guru berperan menjadi model bagi anak.




BAB III
PENUTUP
                        3.1      KESIMPULAN
Bermain adalah dunia kerja anak usia Balita dan kegiatan bermain ditanadai oleh rasa senang dari orang yang terlibat di dalam kegiatan bermain. Oleh karena itu, menimbulkan rasa senang maka anak akan lebih mudah mempelajari suatu hal. Dari kegiatan bermain anak dapat memetik berbagai manfaat, baik dalam perkembangan fisik dan motoriknya, emosi dan sosialnya, serta aspek kognitif dan bahasanya. Empat tahap kegiatan bermain menurut Piaget, yaitu : (1) sensorimotor, usia 3-18 bulan. (2) simbolik. 18 bulan-sekitar 7 tahun, (3) bermain social, 8-11 tahun, serta bermain social dan olahraga, 11 tahun sampai ke atas.
Meskipun istilah bermain akrab bagi hamper setiap orang ternyata tidak mudah mendefinisikan bermain secara komprehensif sehingga dapat memadukan berbagai pandangan. Bahkan, muncul aneka ragam definisi atau pengertian tentang bermain yang dikemukakan oleh para ahli. Munculnya aneka ragam pengertian tentang bermain ini bisa disebabkan oleh karena: (1) istilah bermain digunakan dalam berbagai cara dan konteks kehidupan sehari-hari, (2) studi-studi tentang bermain dilakukan dalam berbagai disiplin, dan (3) kriteria untuk menentukan kegiatan bermain tidak selamanya dapat diamati.
Dari berbaga jenis permainan itu pada dasarnya dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: Permainan fisik, Lagu anak-anak, Bermain teka-teki ddan berfikir logis matematis, Bermain dengan benda-benda, dan Bermain peran. Menurut Parten (1932) ada lima tingkatan perkembangan bermain sebagi berikut: (1) bermain sendiri, (2) bermain secara paralel dengan temannya, (3) bermain dengan melihat cara temannya bermain, (4) bermain secara bersama-sama, (5) bermain dengan aturan.

                          3.2      SARAN
                                          1.            Sebaiknya guru/para pendidik harus lebih bisa menciptakan kegiatan bermain sebagai suatu kegiatan yang menyenangkan bagi anak.
                                          2.            Perlu kiranya memberi penjelasan terhadap orang tua, bahwa bermain yang dilakukan anak bukan semata-mata hanya bermain tanpa tujuan dan bukan membuang-buang waktu.
                                          3.            Guru/para pendidik pun harus bisa menciptakan permainan yang dapat membuat pengalaman tersendiri bagi anak.
                                          4.            Sebaiknya orang tua tidak boleh terlalu menekankan anaknya untuk belajar secara serius terhadap suatu hal, yang akan membuat anak menjadi bosan dan jenuh.
                                          5.            Setiap anak mempunyai potensi dan bakat yang berbeda-beda, sebagi orang tua tidak boleh menekankan kemauannya terhadap anak.



DAFTAR PUSTAKA
Solehuddin, M. dkk.  (2007). Pembaharuan Pendidikan TK. Modul 5. Departemen Pendidikan Universitas Terbuka.
Rini, Hildayani. Dkk. (2005). Psikologi Perkembangan Anak. Modul 4. Departemen Pendidikan Universitas Terbuka.
Suryanto, Slamet. (2005). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar