KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayat-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Kesehatan.
Penulisan makalah ini untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Kesehatan Gizi PG-PAUD Semester IV. Ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam penulisan makalah
ini. Walaupun makalah ini belum sempurna tetapi penulis merasa bangga terhadap
hasil yang dicapai.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat bagi
kami khususnya dan para pembaca pada umumnya. Kritik yang membangun sangat kami
harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.
Kuningan, Mei 2014
|
|
|
Penulis
|
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN
JUDUL……………………………………………………………… i
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………. ii
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………… iii
BAB
I
PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
1.1
Latar Belakang………………………………………………………… 1
1.2
Rumusan Masalah……………………………………………………... 2
1.3
Tujuan Penulisan………………………………………………………. 3
BAB
II
BERMAIN SEBAGAI SARANA BELAJAR ANAK USIA DINI…… 4
2.1
Teori Bermain………………………………………………………..... 4
2.2
Fungsi dan Manfaat
Bermain………………………………………….. 8
2.3
Karakteristik Bermain…………………………………………………. 11
2.4
Macam-Macam Permainan……………………………………………. 13
2.5
Perkembangan Kemampuan Bermain………………………………... 15
2.6
Peran Guru dalam
Kegiatan Bermain Bersama Anak………………... 17
2.7
Strategi Penerapan
Bermain dalam Pembelajaran……………………. 21
BAB
III
PENUTUP……………………………………………………………. 25
3.1
Kesimpulan……………………………………………………………. 25
3.2
Saran…………………………………………………………………... 26
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………….. 27
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Upaya pemanfaatan bermain untuk
kepentingan perkembangan dan belajar anak sudah sejak lama dirintis oleh para
ahli pendidikan anak usia dini. Misalnya, Frederich Froebel (1782-1852)
mengamati dan mempelajari aktivitas bermain anak dalam upaya mengembangkan
program pendidikan yang disebut dengan Kindergarten.
Berdasarkan hasil pengamatannya, ia mengembangkan program pendidikan yang
berorientasi pada kegiatan.
Maria Montessori (1870-1952) juga
melakukan pengamatan terhadap aktivitas bermain anak. Atas dasar hasil
pengamatannya itu, ia mengembangkan program pendidikan anak berbasis aktivitas
yang dikenal dengan metode Montessori.
Oleh dua tokoh diatas, pengamatan
terhadap aktivitas bermain anak
dijadikan sebagai sumber ide dalam mengembangkan program pendidikan.
Namun, meskipun anak terlibat aktif dalam manipulasi bahan-bahan pembelajaran,
mereka melakukannya secara tertuntun sehingga masih belum merupakan aktivitas
bermain yang utuh.
Barulah pada tahun 1960-an, inovasi
penggunaan bermain untuk kepentingan pembelajaran dilakukan secara lebih nyata.
Melalui gerakan Nursery School di
inggris dan reformasi TK di Amerika Serikat, bermain mulai diterima sebagai
sesuatu yang sah dalam pendidikan anak usia dini. Para pendidik di
lembaga-lembaga pendidikan tersebut mengamati aktivitas bermain anak dan
melihat apa yang anak lakukan dalam bermain ternyata memuat sesuatu yang
potensial untuk belajar. Mereka melihat bagaimana anak menguji ide-ide,
mengabstraksikan informasi, dan melakukan sesuatu berdasarkan pada informasi
tersebut melalui bermain. Aktivitas bermain yang penyelenggaraan program
pendidikan. Para ahli pendidikan anak usia dini lazimnya mengakui akan peran
bermain dalam proses perkembangan dan belajar anak. Banyak hasil penelitian
yang juga turut mendukung pandangan bahwa bermain memiliki pengaruh positif
yang kuat terhadap perkembangan dan belajar anak. Oleh karena itu, pemahaman
akan konsep bermain dan keterkaitannya dengan perkembangan dan belajar anak
merupakan sesuatu yang diperlukan oleh para guru untuk dapat melakukan
upaya-upaya pembaruan pendidikan anak usia dini secara tepat.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan
di atas, terdapat beberapa rumusan masalah dalam kaitannya dengan Bermain
Sebagai Sarana Belajar Anak, yaitu
sebagai berikut:
a.
Bagaimana Teori Bermain
itu?
b.
Fungsi dan Manfaat
Bermain?
c.
Apa Karakteristik
Bermain itu?
d.
Macam-Macam Permainan?
e.
Perkembangan Kemampuan
Bermain?
f.
Peran Guru dalam
Kegiatan Bermain Bersama Anak?
g.
Strategi Penerapan
Bermain dalam Pembelajaran?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan karya imiah ini adalah sebagai berikut :
a.
Untuk memenuhi salah
satu tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia.
b.
Menjadikan bermain
sebagai pengaruh positif yang kuat terhadap perkembangan belajar anak.
c.
Menjadikan bermain
sebagai sumber dalam mengembangkan program pendidikan.
d.
Mendorong Guru/Para Penddik
untuk berinovasi dalam menciptakan permainan yang bersifat educative.
BAB
II
BERMAIN
SEBAGAI
SARANA BELAJAR ANAK USIA DINI
2.1
Teori Bermain
2.1.1
Pengertian
Bermain
Istilah bermain merupakan konsep yang
perlu dipahami dengan baik agar tidak terjadi kesalahan dalam menilai kegiatan
yang dilakukan oleh orang dewasa bersama anak, khususnya bersama anak usia
balita. Pada dasarnya, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan anak secara
berulang-ulang semata-mata demi kesenangan dan tidak ada tujuan atau sasaran
akhir yang ingin dicapainya. Jadi, khususnya pada anak usia balita, apapun
kegiatan yang dilakukan, selama membuat anak merasa senang, dapat dikategorikan
sebagai bermain. Kegiatan bermain yang dilakuka oleh anak, dapat dengan
mengunakan alat ataupun tanpa alat permainan, dilakukan dimana saja, kapan
saja.
Bermain merupakan suatu aktivitas
yang menyenangkan karena itu akan lebih mudah bagi anak untuk menyerap berbagai
informasi baru yang ia tanggapi dengan sikap yang positif dan tanpa paksaa.
Dengan demikian, yang menjadi
tantangan bagi orang dewasa adalah bagaimana memanfaatkan kegiatan bermain
untuk membantu anak belajar dalam suasana hati yang menyenangkan dan tanpa
beban. pada si anak, maksudnya atas prakarsa anak, dipacu oleh anak Caranya,
anatara lain dengan mengupayakan agar kegiatan yang dilakukan berpusat dan
mengikuti gaya anak.
2.1.2
Teori-Teori
Mengenai Bermain
1)
Teori Psikoanalisis
Menurut Sigmund Freud bermain
mempunyai nilai yang sama, seperti fantasi atau lamunan. Melalui bermain
ataupun berkhayal, seseorang dapat memproyeksikan harapan-harapan maupun
konflik-konflik pribadinya, Freund yakin bahwa bermain memegang peran penting
dalam perkembangan emosi anak. Karena melalui bermain anak dapat mengeluarkan
seluruh perasaan negatifnya, seperti pengalaman yang tidak menyenangkan atau
traumatik, harapan-harapan yang tidak terwujud dalam realitas hidupnya. Melalui
bermain anak dapat mengambil peran aktif sebagai pemrakarsa dan memindahkan
perasaan negatifnya ke objek atau orang pengganti. Sebagai contoh, setelah anak
menjalani hukuman fisik dari gurunya, pada saat bermain ia dapat menyalurkan
perasaan marahnya dengan cara memukul-mukul boneka yang ia andaikan sebagai
gurunya. Tindakannya dirasakan tidak mengancam dirinya karena dilakukan dalam
situasi bermain, dan ia pun merasa puas sebab dapat menyalurkan perasaan
negatifnya.
Freud tidak mengemukakan pengertian
bermain, tetapi lebih memandang bermain sebagai cara yang digunakan anak untuk
mengatasi masalahnya.
2)
Teori Kognitif
a.
Jean Piaget
Perkembangan kognitif berlangsung
melampaui tahapan-tahapan tertentu, sampai pada akhirnya proses berfikir anak
akan menyamai orng dewasa. Dlam bermain, anak akan melakukan aktivitas yang
sesuai dengan perkembangan kognitif yang sedang dijalaninya. Misalnya anak usia
tiga sampai enam tahun akan terlibat di dalam kegiatan bermain khayal. Kegiatan
bermain yang lebih kompleks belum dapat mereka lakukan karena kemampuan
kognitif dan sosialnya belum memadai.
Piaget menganggap bermain bukan
hanya mencerminkan perkembangan kognitif anak, tetapi juga memberikan sumbangan
terhadap perkembangan kognitif itu sendiri. Pada saat bermain, anak tidak
belajar mempraktikkan dan mengkonsolidasikan keteramppilan yang baru
diperolehnya.
Menurut Piaget, peranan praktik dan
konsolidasi melalui bermain sangat penting karena keterampilan yang baru
diperoleh akan segera hilang bila tidak dipraktikkan dan dikonsolidasikan.
Perkembangan bermain berhubungan dengan perkembangan kognitif seseorang karena
itu taraf kecerdasan anak akan mempengaruhi kegiatan bermainnya. Apabila
kecerdasan anak berada di bawah rata-rata anak seusianya maka kegiatan
bermainnya juga tidak sesuai dengan usianya. Misalnya, anak yang tergolong
terbelakang mental sedang, walaupun usianya sudah enam tahun, perilaku
bermainnya setara dengan anak usia tiga tahunan. Sebaliknya,, anak yang sangat
cerdas akan menampilkan perilaku bermain yang jauh berada di atas usianya.
b.
Lev Vygotsky
Vygotsky meyakini bahwa kegiatan
bermain mempunyai peranan langsung terhadap perkembangan kognitif seorang anak.
Pada mulanya anak tidak mampu berfikir secara abstrak karena bagi mereka meaning (makna) dan objek berbaur
menjadi satu. Akibatnya, anak tidak dapat berfikir tentang suatu objek tanpa
melhat objek yang sesungguhnya. Misalnya, anak tidak memahami konsep “kuda”
tanpa melihat kuda sesungguhnya. Bermain khayal (simbolik) mempunyai peranan
yang sangat berarti dan krusial dalam perkembangan berpikir abstrak.
Bermain merupakan self help tool.keterlibatan anak dalam
kegiatan bermain dengan sendirnya menghasilkan kemajuan dalam perkembangan
kognitifnya. Bermain akan memajukan Zone
of Proximal Development (ZPD) anak, membantu mereka mencapai tingkatann
yang lebih tinggi dalam memfungsikan kemampuannya sehingga mencapai tahap yang
potensial.
ZPD adalah jarak antara tahap
perkembangan aktual dengan tahap perkembangan yang potensial. Tahap
perkembangan aktual ditentukan oleh pemecahan masalah yang dilakukan anak
secara mandiri, sedangkan tahap perkembangan potensi ditentukan oleh pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau hasil kolaborasi dengan teman
sebaya yang lebih kompeten (Vygotsky dalam
cole, et.al., 1978).
Dalam bermain, anak dapat menciptakan
scaffolding secara mandiri baik dalam
kontrol diri, penggunaan bahasa, daya ingat, dan kerja sama dengan sesame teman
(Bodrova dan Leong dalam Tedjasaputra,
2003). Sebagai contoh, sehari-harianak sering kali menolak bila disuruh tidur,
tetapi dalam situasi bermain khayal, dia akan naik ke tempat tidur tanpa
protes. Karena dalam bermain, anak mampu mengedalikan dirinya sendiri sebab
kerangka bermain berada dibawah kendali anak, atau dilakukan dalam siuasi
imajiner. Bahwa selain untuk perkembangan kofnitif, bermain juga mempunyai
peran yang penting bagi perkembangan sosial serat emosional anak.
c.
Jerome
Bruner
Dalam teorinya mengenai bermain,
Burner memberikan penekanan pada fungsi bermain sebagai saran untuk
mengembangkan kreativitas dan fleksibilitas. Dalam bermain, yang penting bagi
anak adalah makna berman bukan hasil akhirnya. Pada saat bermain, anak tidak
memikirkan sasaran yang akan dicapai sehingga ia mampu bereksperimen dengan
memadukan berbagai perilaku baru serta yang “tidak bisa”. Keadaan ini tidak
dapat ia wujudkan bila sedang berada dalam suasana tertekan. Perilaku-perilaku
yang secara rutin ia praktikkan dan pelajari berulang-berulang dalam situasi
bermain akan terintegrasi dan bermanfaat untuk memantapkan pola perilakuya
dalam kehidupan sehari-hari.
2.2
Fungsi dan Manfaat Bermain
Bermain memiliki peran penting
dalam perkembangan anak pada hamper semua bidang perkembangan, baik
perkembangan fisik-motorik, bahasa, intelektual, moral, social, maupun
emosional.
a.
Kemampuan Morotik
Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa bermain memungkinkan anak bergerak secara bebas sehingga anak mampu
mengembangkan kemampuan motoriknya (Paiget, 1962; Curtis, 1977). Pada saat
bermain anak berlatih menyesuakan antara pikiran dan gerakan menjadi suatu
keseimbangan. Menurut Piaget, anak terlahir dengan kemampuan refleks, kemudian
ia belajar menggabungkan dua atau lebih gerak refleks, dan pada akhirnya ia
mampu mengontrol gerakannya. Melalui bermain anak belajar mengontrol gerakannya
menjadi gerak terkoordinasi.
b.
Bermain Mengembangkan
Kemampuan Kognitif
Menurut Piaget (1962), anak belajar
memahami pengetahuan dengan berinteraksi melalui objek yang ada di sekitarnya.
Bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan objek. Anak
memiliki kesempatan menggunakan indranya, seperti menyentuh, mencium, melihat,
dan mendengarkan untuk mengetahui sifat-sifat objek. Dari pengindraan tersebut
anak memperoleh fakta-fakta, informasi, dan pengalaman yang akan menjadi dasar
untuk berpikir abstrak. Jadi, bermain menjembatani anak dari berpikir konkret
ke berpikir abstrak. Vygotsky (1976) menyatakan bahwa pada saat bermain,
pikiran anak terbebas dari situasi kehidupan nyata yang menghambat anak berpik
abstrak. Penelitian Hoorn (1993) menunjukkan bahwa bermain memiliki peran yang
sangat penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan
kreatif.
c.
Kemampuan Afektif
Setiap permainan memiliki aturan.
Aturan akan diperkenalkan oleh teman bermain sedikit demi sedikit, tahap demi
tahap sampai setiap anak memahami aturan bermain. Oleh karena itu, bermain akan
melatih anak menyadari adanya aturan dan pentingnya memauhi aturan. Hal itu
merupakan tahap awal dari perkembangan moral (afeksi).
d.
Kemampuan Bahasa
Pada saat bermain anak menggunakan
bahasa, baik untuk berkomunikasi dengan temannya maupun sekedar menyatakan
pikirannya (thinking aloud). Sering
kita menjumpai anak kecil bermain sendiri sambil mengucapakan kata-kata
seakan-akan ia bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Ia sebenarnya sedang
“membahasakan” apa yang ada dalam pikirannya. Menurut Vygotsky (1926) peristiwa
seperti itu menggambarkan bahwa anak sedang dalam tahap menggabungkan pikiran
dan bahasa sebagai satu kesatuan. Ketika anak bermain dengan temannya mereka
juga saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa anak, dan itu berarti
secara tidak langsung anak belajar bahasa.
e.
Kemampuan Sosial
Pada saat bermain anak berinteraksi dengan anak yang
lain. Interaksi tersebut mengajarkan anak cara merespons, memberi dan menerima,
menolak atau setuju dengan ide dan perilaku anak yang lain. Hal itu sedikit
demi sedikit akan mengurangi rasa egosentris anak dan mengembangkan kemampuan
sosialnya.
2.3
Karakteristik Bermain
Menculnya aneka ragam pengertian
tentang bermain bisa sisebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena istilah
bermain digunakan dalam berbagai cara dan konteks kehidupan sehari-hari.
Misalnya, seseorang berkata, “Pemain musik itu bermain sangat bagus”. Dalam
ucapan tersebut bermain, bermain dimaksudkan sebagai penampilan dramatis dari
si pemain musik.
Studi-studi tentang bermain
dilakukan dalam berbagai disiplin seperti dalam ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu
sosial, dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Adanya keterlibatan para peneliti dari
berbagai disiplin ini juga menyebabkan upaya mendefinisikan bermain dilakukan
secara bervariasi. Bahkan ketika bermain diterima sebagai cara atau alat
pembelajar atau pendidikan, para ahli pendidikan pun masih mendefinisikannya
secara beragam.
Kriteria untuk menentukan apakah
suatu kegiatan itu merupakan bermain atau bukan tidak selamanya dapat diamati.
Kita tidak bisa menentukan apakah suatu kegiatan itu bermain atau bukan, hanya
berdasarkan wujud kegiatannya, melainkan perlu pula mempertimbangkan
alasan-alasan atau motif-motif yang mendorong dilakukannya kegiatan tersebut.
Dengan demikian, suatu aktivitas yang merupakan bermain dalam kondisi tertentu
bisa menjadi bukan bermain dalam kondisi yang lain. Misalnya, mengendarai
sepeda yang dilakukan oleh para pembalap dalam suatu kejuaraan, berbeda dengan
yang dilakukan sehari-hari oleh anak di depan rumah. Apa yang dilakukan oleh
para pembalap tersebut dapat merupakan suatu pekerjaan atau profesi, tetapi
yang dilakukan oleh anak-anak dapat merupakan aktivitas bermain.
Dalam hal ini terdapat tujuh ciri
yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah sesuatu itu bermain atau
bukan, yakni volutir, spontan, terfokus pada proses, memberi ganjaran secara
intrinsik, menyenangkan, aktif, dan fleksibel (Solehuddin, 1996).
Pertama,
bermain dilakukan secara voluntir. Bermain dilakukan oleh anak
secara suka rela tanpa paksaan atau tekanan dari orang lain. Anak bermain atas
keinginan dan kemauannya sendiri, bukan karena perintah orang lain.
Kedua,
bermain itu spontan. Anak akan bermain kapan pun mereka mau. Bermain tidak
dilakukan anak dengan menempuh prosedur perencanaan yang sistematik. Apa yang
dilakukan anak dalam kegiatan bermain berlangsung begitu saja sesuai dengan
munculnya keinginan anak untuk bermain.
Ketiga,
kegiatan bermain lebih berorientasi pada proses dari pada terhadap hasil atau akhir kegiatan. Fokus dalam
bermain adalah melakukan aktivitas bermain itu sendiri, bukan hasil atau akhir
dari kegiatannya. Anak sering tidak peduli dengan akhir dari kegiatan yang
dilakukan dalam bermain.
Keempat,
bermain didorong oleh motivasi intrinsik. Maksudnya, yang mendorong
anak untuk melakukan kegiatan bermain tersebut adalah kegiatan itu sendiri,
bukan karena faktor-faktor luar yang bersifat ekstrinsik. Anak bermain karena menyukai kegiatan tersebut, bukan
karena hal-hal yang bersifat instrumental karena faktor-faktor eksternal,
misalnya didorong orang tua, untuk mendapatkan hadiah, dan lain-lain. Anak
gembira karena melkukan kegiatan bermain tersebut, bukan karena hadiah atau
karena ingin mendapat pujian dari orang lain.
Kelima,
bermain itu pada dasarnya menyenangkan. Bukan bisa memberikan
perasaan-perasaan positif bagi para pelakunya. Oleh karena itu, apa yang
membuat anak senang atau puas dalam bermain adalah keterlibatannya dalam
aktivitas bermain itu sendiri. Dilihat dari ciri ini, semakin aktivitas itu
menyenangkan, maka hal tersebut semakin merupakan bermain. Sebaliknya, semakin
aktivitas itu menyiksa atau menyakitkan, maka hal itu semakin bukan merupakan
bermain.
Keenam,
bermain itu bersifat aktif. Bermain memerlukan keterlibatan
aktif dari para pelakunya. Sesuatu yang terjadi secara pasif walaupun voluntir
dan menyenangkan, seperti mimpi, tidak dapat dikategorikan sebagai bermain.
Ketujuh,
bermain itu bersifat fleksibel. Dengan ciri ini berarti anak
yang bermain memiliki kebebasan untuk memilih jenis kegiatan yang ingin
dilakukannya atau untuk beralih dari kegiatan bermain yang satu ke kegiatan
yang lain
Dengan tujuh karakteristik di atas,
secara sederhana bermain dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan secara voluntir, spontan, terfokus pada proses, didorong oleh
motivasi intrinsik, menyenangkan, aktif, dan fleksibel.
2.4
Macam-Macam Permainan
Bentuk permainan anak sangat
bervariasi. Ki Hajar Dewantara (1948) menulis bahwa H.Overbeck telah menghimpun
ragam permainan dan nyanyian anak-anak yang ada di Indonesia yang jumlahnya
lebih dari 690 macam. Padahal setiap waktu permainan baru muncul sehingga jenis
permainan senantiasa bertambah banyak. Dari berbagai jenis permainan itu pada
dasarnya dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut.
1.
Permainan Fisik
Anak usia 5-7 tahun sering berman
kejar-kejaran, menangkap temannya, dan jatuh bergulingaan. Permainan seperti
itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Jadi,
dengan bermain, fisik anak akan tumbuh menjadi sehat dan kuat untuk melakukan
gerakan dasar.
2.
Lagu Anak-Anak
Lagu anak-anak biasanya dinyanyikan
sambil bergerak, menari, atau berpura-pura menjadi sesuatu atau seseorang.
Berdasarkan sifatnya ada lagu yang humoris, ada yang mengandung teka-teki, dan
ada pula yang mengandung nilai-nilai ajaran yang luhur. Unsur lagu yang menarik
ialah adanya rhyme atau bunyi akhir
yang sama.
3.
Bermain Teka-Teki dan
Berpikir Logis Matematis
Banyak permainan yang tujuannya
mengembangkan kemampuan berpikir logis dan matematis. Salah satu di antaranya
adalah lowok, suatu permainan yang
menggunakan karet gelang. Dengan permainan ini, anak-anak belajar tentang
ganjil dan genap, lebih banyak dan lebih sedikit.
4.
Bermain dengan
Benda-Benda
Permainan dengan objek seperti air,
pasir, dan balok dapat membantu anak mengembangkan berbagai aspek perkembangan,
Anak-anak dapat belajar ciri-ciri benda-benda tersebut. Misalnya, saat bermain
air anak dapat mengenal sifat-sifat air. Air juga dapat digunakan untuk belajar
konservasi volume zat cair dan belajar matematika. Balok dapat digunakan untuk
membentuk berbagai macam bentuk bangun, belajar klasifikasi, dan mengembangkan
imajinasi.
5.
Bemain Peran
Jenis permainan ini antara lain
meliputi sandiwara, drama, bermain peran, dan jenis permainan lain ketika anak
memerankan orang lain. Permainan ini sangat baik untuk mengembangkan kemampuan
bahasa, komunikasi, dan memahami peran-peran dalam masyarakat. Misalnya, anak
bermain peran menjadi penjual dan pembeli. Berdasarkan permainan itu anak-anak
diberi model uang, lalu ada anak yang berperan menjadi penjual dan pembeli.
Berdasarkan permainan itu anak-anak belajar bahasa, yaitu komunikasi antara
penjual dan pembeli, seperti menjajakan dagangan, menanyakan harga, dan
menawar. Mereka juga belajar matematika melalui menimbang, mengukur, dan
menghitung uang.
2.5
Perkembangan
Kemampuan Bermain
Parten (1932) mengamati
perkembangan bermain pada anak. Ia menemukan bahwa pola perkembangan bermain
mengambarkan pula perkembangan sosial anak. Ia menemukan lima tingkat
perkembangan sebagai berikut :
a)
Bermain Sendiri
Pada mulanya anak asyik bermain
sendiri (soliter play). Sifat
egosentrisnya yang tinggi menyebabkannya bermain sendiri dan tidak peduli apa
yang dimainka teman di sekelilingnya. Misalnya, ia menggunakan balok untuk
membuat rumah atau menjadikannya mobil-mobilan.
b)
Bermain secara Paralel
dengan Temannya
Pada tahap bermain secara paralel (parallel play) ini anak bermain berdampingan
dengan temannya, menggunakan benda-benda yang sejenis, misalnya bermain pasir,
tetapi tiap anak bermain sendiri-sendiri. Kadang mereka saling melihat, saling
member komentar, atau bercakap-cakap. Tahap ini disebut on looking play.
c)
Bermain dengan Melihat
Cara Temannya Bermain
Pada tahap ini anak yang tadinya
bermain sendiri mulai melihat apa dan bagaimana temannya bermain. Ia sesekali
berhenti bermain dan mengamati temannya bermain lalu menirunya. Tahap ini
disebut cooperatve play.
d)
Bermain secara
Bersama-sama
Pada tahap ini anak mulai bermain
bersama, beramai-ramai. Misalnya salah satu anak menyatakan bermain. “Elang dan
anak ayam”, maka salah satu anak akan menjadi burung elang dan anak lain
menjadi anak ayam. Burung elang mengejar anak-anak ayam yang berlarian. Tahap
ini disebut cooperative play.
e)
Bermain dengan Aturan
Pada tahap ini anak bermain bersama
temannya dalam bentuk tim. Mereka menentukan jenis permainan yang akan mereka
mainkan, biasanya dalam bentuk game. Mereka
juga membicarakan mengenai aturannya, pembagian peran, dan siapa yang akan
bermain lebih dahulu. Permainan jenis ini menunjukkan bahwa anak telah memiliki
kemampuan sosial. Contoh permainan kooperatif antara lain ialah sepak bola,
gobak todor (go back through door), dan
bermain peran.
Permainan untuk anak usia dini
sebaiknya tidak perlu banyak aturan. Bagi anak yang menurut Piaget perkembangan
moralnya masih dalam taraf premoral atau moral
realism awal, sulit baginya untuk memahami aturan yang kompleks.
2.6
Peran Guru dalam Kegiatan Bermain Bersama
Anak
Keterlibatan guru dalam kegiatan
bermain yang dilakukan anak sangat diperlukan, dimana guru dapat berfungsi
untuk member dukungan pada anak di kala anak merasa dirinya tidak mampu, cemas,
dan malu, dan bersikap responsive terhadap perilaku serta keingintahuan anak.
1.
Beberapa Hasil
Penelitian mengenai Peran Guru yang Kurang Menunjang Kegiatan Bermain Anak
Dari penelitian yang pernah
dilakukan oleh File dan Kontos pada tahun 1993 di Amerika Serikat (Johnson,
1999), diperoleh hasil bahwa para guru lebih banyak member dukungan dalam aspek
perkembangan kognitif dan kurang mengembangkan aspek sosial dari kegiatan
bermain. Bila aspek social kurang diperhatikan, dampak negatif akan lebih
dirasakan oleh anak yang kurang terampil dalam pertemanan. Anak-anak ini
semakin tersisih dari teman-teman lainnya.
Grinder dan Johnson (Johnson,1999)
melaporkan bahwa 27% dari waktu guru saat bermain bersama anak menunjukkan
keterlibatan yang mengganggu kegiatan bermain anak (play-interfering). Perilaku guru yang secara kasat mata dapat
mengganggu aktivitas bermain anak adalah mengambil alih permainan, memberikan
instruksi, memberikan perintah atau mengajal anak bercakap-cakap saat dia
sangat asyik dengan kegiatannya. Saat anak bermain konstruktif, sebaiknya tidak
usah menginstuksikan anak untuk membuat suatu bentuk atau menyuruh anak meniru
bentuk yang harus dibuat. Apabila guru
terlalu banyak ikut campur atau mau mempengaruhi anak maka akan
mengganggu keberlangsungan kegiatan bermain anak.
Yang menjadi bagian penting dari peran
guru dalam bermain bersama dengan anak adalah bagaimana guru melibatkan diri
dan bukan pada seberapa sering guru melibatkan diri dalam kegiatan bermain
bersama anak. Bila keterlibatan guru sesuai maka hal ini akan memperkaya
pengalaman serta wawasan anak.
2.
Beberapa Hasil
Penelitian mengenai Dampak Positif dari Keterlibatan Guru dalam Aktivitas
Bermain Bersama Anak
Apabila guru ikut bermain bersama
anak, ada beberapa hasil positif yang teramati, yaitu :
a. Lamanya(durasi)
anak bermain bersama teman menjadi dua kali lipat dan biasanya, dibandingkan
bila mereka dilepas untuk bermain sendiri tanpa guru.
b. Anak-anak
akan menampilkan kegiatan bermain kooperatif (tahap tertinggi dari kegiatan
bermain social yang di kemukakan oleh Parten). Berarti dengan keikutsertaan
guru, anak-anak mau melibatkan diri dalam kegiatan bermain yang lebih bersifat
social.
c. Kegiatan
bermain yang dilakukan anak menunjukkan tahapan kognitif yang lebih tinggi.
d. Dalam
aktivitas membaca buku, ternyata anak-anak menunjukkan minat membaca dan menulis
yang lebih tingggi.
3.
Strategi untuk
Pengayaan Anak melalui aktivitas Bermain
Dalam rangka melakukan pengayaan
pada anak, guru perlu mengambil peran aktif. Ada tiga langkah yang perlu
disiapkan (Johnson, 1999), yaitu sebagai berikut:
a. Mempersiapkan
sumber-sumber untuk bermain, termasuk di dalamnya waktu, ruangan, perlengkapan
bermain, dan pengalaman bermain.
1) Waktu
untuk bermain perlu disesuaikan dengan jenis aktivitas yang akan di lakukan
oleh anak.
2) Ruang
bermain
3) Peralatan
bermain.
4) Pengalaman
sosial.
b. Observasi
Merupakan metode yang sangat
sianjurkan untuk dilakukan oleh guru. Pengamatan yang hati-hati serta cermat
akan membantu guru uuntuk mencari tahu mengenai apa yang dilakukan oleh anak
didiknya. Observasi menjadi jembatan penghubung antara sumber-sumber untuk
bermain dengan keterlibatan orang dewasa (guru).
c. Keterlibatan
guru
Pengalaman anak akan semakin kaya
bila guru mampu untuk berinteraksi secara positif dengan anak. Interaksi secara
positif ditandai oleh sikap guru yang mendukung serta tanggap terhadap perilaku
maupun kebutuhan anak.
Ada beberapa peran guru (orang
dewasa) yang berhasil diamati oleh sejumlah peneliti (Enz & Christiez,
Jones & Reynolds, dan Roskos & Newman dalam Johnson, 1999)
1)
Tidak terlibat (uninvolved), tidak menaruh perhatian
terhadap kegiatan bermain anak.
2)
Melihat (onlooker) dan mengamati apa yang
dilakukan oleh anak dari jarak dekat.
3)
Menjadi manajer
panggung (stage manager), yaitu
membantu anak untuk menyiapkan perlengkapan bermain bila diperlukan oleh anak,
membantu memberi ide mengenai apa tema bermain.
4)
Ikut berpartisipasi (coplayer) dalam kegiatan bermain bersama
anak.
5)
Memimpin kegiatan
bermain (play leader). Dalam hal ini,
guru ikut berperan serta dalam kegiatan bermain dan berusaha memperkaya serta
memperluas wawasan anak.
6)
Menjadi direktur atau
instruktur, dalam hal ini guru berperan dalam mengendalikan kegiatan bermain
dan mengarahkan perhatian anak pada materi yang bersifat akademis.
Apabila ditinjau dari beberapa
peran tersebut, peran guru berada dalam suatu skala dari sama sekali tidak
terlibat samapai kepada terlibat secara penuh untuk mengarahkan kegiatan anak.
Untuk meningkatkan kegiatan bermain
simbolik dan mendorong permainan yang mengarah pada literacy (membaca, menulis), peran guru yang paling sesuai adalah
antara : melihat, menjadi teman bermain, dan menjadi pemimpin. Kemampuan anak
bisa diasah bila guru mempunyai banyak pengalaman dalam mengamati anak disertai
niat dan minat yang kuat untuk membantu mengembangkan potensi anak. Peran guru
dalam kegiatan bermain bersama anak mempunyai dua sisi yang bertentangan, yaitu
menguntungkan dan merugikan. Akan tetapi, titik tolak terpenting adalah
bagaimana guru melibatkan dirinya dalam kegiatan bermain bersama anak.
2.7
Strategi Penerapan Bermain dalam
Pembelajaran
Secara garis besar, ada tiga cara
yang dapat ditempuh guru dalam mengimplementasikan bermain untuk kepentingan
pembelajaran. Pertama, bermain
diterapkan melalui cara melengkapi perlengkapan kelas, dengan bahan dan
peralatan bermain. Kedua, bermain
diimplementasikan dengan cara menggunakan permainan-permainan sebagai teknik
pembelajaran. Ketiga, bermain
diimplemenatasikan dengan cara menciptakan suasan kelas yang memungkinkan anak
untuk melakukan aktivitas belajar dalam suasana bermain.
Pembelajaran berbasis bermain
tentunya tidak sekedar berupa permainan-permainan secara teknis-prosedural,
melainkan juga harus mengakomodasikan sifat-sifat kegiatan bermain secara
kontekstual, yaitu dalam kondisi apa aktivitas-aktivitas pembelajaran tersebut
direalisasikan. Dalam hal ini kita berupaya menciptakan suasana kelas yang
bersifat playful. Ada beberapa ciri
dari pembelajaran yang bersifat playful, yakni:
(1) menyenangkan,
(2) mengakomodasi
kebutuhan dan minat belajar anak,
(3) mengakomodasi
hal-hal yang terjadi secara spontan dan kontekstual,
(4) relative
informal atau tidak terstruktur,
(5) relative
fleksibel, dan
(6) menekankan
proses di samping hasil.
Agar anak dapat bermain dengan
efektif, mereka perlu merasa bebas dan nyaman untuk berbuat, mencoba,
menjelajah, dan menciptakan sesuatu. Diperlukan adanya intervensi dari guru
untuk menciptakan suatu lingkungan bermain yang dapat menyediakan pengalaman
yang kaya bagi anak, tetapi tidak liar. Guru perlu berperan dalam menciptakan
situasi dan lingkungan bermain yang efektif bagi anak.
Secara lebih operasional yang perlu
guru tampilkan dalam memfasilitasi aktivitas bermain anak, adalah sebagai
berikut :
1)
Menyediakan dan Mendesain
Lingkungan dan Bahan-bahan Bermain
Memilih bahan-bahan untuk aktivitas
bermain anak yang sejalan dengan tujuan pembelajaran merupakan hal yang perlu
di lakukan oleh guru. Dua aspek yang harus dipertimbangkan dalam memilih
bahan-bahan yang digunakan untuk kegiatan bermain anak adalah jenis bahan dan
sifat dari bahan itu.
Penataan area bermain dapat juga
berpengaruh terhadap perilaku anak. Area bermain yang ditata dengan baik bisa
memfasilitasi anak untuk bermain secara lebih terarah. Sebaliknya, area bermain
yang tidak beraturan bisa membuat anak bingung.
2)
Mengatur Jadwal
Kegiatan Bermain
Aktivitas-aktivitas yang memerlukan
anak untuk berkonsentrasi lebih baik dijadwalkan pagi hari ketika mereka sedang
segar dan penuh perhatian, sedangkan aktivitas bermain yang lebih konstruktif
atau dramatis biasanya memerlukan waktu yang lebih lama dari pada bermain yang
banyak melibatan otot secara berulang-ulang dapat dilaksanakan siang hari atau
akhir kegiatan.
3)
Mengamati dan
Membimbing Aktivitas Bermain
Ada beberapa aktivitas yang guru
perlu lakukan, yakni memberikan respons yang jelas kepada anak, membantu anak
belajar bagaimana cara bermain yang baik, dan membantu anak dalam
mengekspresikan emosi mereka.
4)
Menyediakan Panduan
atau Arahan yang Diperlukan
Panduan atau arahan terutama
diperlukan bila anak diminta untuk melakukan suatu permainan tertentu yang
dikreasi atau dirancang oleh guru. Arahan ini sangat penting untuk membuat anak
melakukan perilaku yang diharapkan dalam aktivitas bermain mereka.
5)
Menciptakan Suasana
Lingkungan yang Kondusif
Suasan ini diperlukan untuk membuat
anak merasa bebas berperilaku, tampil, mengeksplorasi, dan mencipta dalam
aktivitas bermain mereka. Guru perlu menunjukkan kepada anak bagaimana cara
memberi dukungan, bernegosiasi, saling berbagi, dan berkomunikasi satu sama
lain secara positif. Dengan kata lain, guru berperan menjadi model bagi anak.
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Bermain adalah
dunia kerja anak usia Balita dan kegiatan bermain ditanadai oleh rasa senang
dari orang yang terlibat di dalam kegiatan bermain. Oleh karena itu,
menimbulkan rasa senang maka anak akan lebih mudah mempelajari suatu hal. Dari
kegiatan bermain anak dapat memetik berbagai manfaat, baik dalam perkembangan
fisik dan motoriknya, emosi dan sosialnya, serta aspek kognitif dan bahasanya.
Empat tahap kegiatan bermain menurut Piaget, yaitu : (1) sensorimotor, usia
3-18 bulan. (2) simbolik. 18 bulan-sekitar 7 tahun, (3) bermain social, 8-11
tahun, serta bermain social dan olahraga, 11 tahun sampai ke atas.
Meskipun istilah
bermain akrab bagi hamper setiap orang ternyata tidak mudah mendefinisikan
bermain secara komprehensif sehingga dapat memadukan berbagai pandangan.
Bahkan, muncul aneka ragam definisi atau pengertian tentang bermain yang
dikemukakan oleh para ahli. Munculnya aneka ragam pengertian tentang bermain
ini bisa disebabkan oleh karena: (1) istilah bermain digunakan dalam berbagai
cara dan konteks kehidupan sehari-hari, (2) studi-studi tentang bermain
dilakukan dalam berbagai disiplin, dan (3) kriteria untuk menentukan kegiatan
bermain tidak selamanya dapat diamati.
Dari berbaga
jenis permainan itu pada dasarnya dapat dibedakan menjadi beberapa jenis,
yaitu: Permainan fisik, Lagu anak-anak, Bermain teka-teki ddan berfikir logis
matematis, Bermain dengan benda-benda, dan Bermain peran. Menurut Parten (1932)
ada lima tingkatan perkembangan bermain sebagi berikut: (1) bermain sendiri,
(2) bermain secara paralel dengan temannya, (3) bermain dengan melihat cara
temannya bermain, (4) bermain secara bersama-sama, (5) bermain dengan aturan.
3.2
SARAN
1.
Sebaiknya
guru/para pendidik harus lebih bisa menciptakan kegiatan bermain sebagai suatu
kegiatan yang menyenangkan bagi anak.
2.
Perlu
kiranya memberi penjelasan terhadap orang tua, bahwa bermain yang dilakukan
anak bukan semata-mata hanya bermain tanpa tujuan dan bukan membuang-buang
waktu.
3.
Guru/para
pendidik pun harus bisa menciptakan permainan yang dapat membuat pengalaman
tersendiri bagi anak.
4.
Sebaiknya
orang tua tidak boleh terlalu menekankan anaknya untuk belajar secara serius
terhadap suatu hal, yang akan membuat anak menjadi bosan dan jenuh.
5.
Setiap
anak mempunyai potensi dan bakat yang berbeda-beda, sebagi orang tua tidak
boleh menekankan kemauannya terhadap anak.
DAFTAR
PUSTAKA
Solehuddin, M. dkk. (2007).
Pembaharuan Pendidikan TK. Modul 5. Departemen Pendidikan Universitas
Terbuka.
Rini, Hildayani. Dkk. (2005). Psikologi Perkembangan Anak. Modul 4. Departemen
Pendidikan Universitas Terbuka.
Suryanto, Slamet. (2005). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta:
Hikayat Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar