BERMAIN SEBAGAI SARANA BELAJAR AUD
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Belajar dan Pemmbelajaran PAUD
PG-PAUD
Semester IV
Dosen
: Bpk. Dudung Abdussalam, M.Pd

Disusun
oleh :
nama
|
: NURRUL PRIMA WISTRI
|
NIM
|
: 124 223 033
|
PRODI
|
: PG-PAUD SMT 4
|
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP)
Muhammadiyah Kuningan
Tahun Akademik 2012 -
2013
Jl.Raya
Cigugur No.28 Telp. (0232) 874085 Fax. (0232) 871281 kuningan 45511
Website : www.umku.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah-Nya. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran PAUD.
Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dudung abdussalam, M.Pd selaku dosen
pembimbing mata kuliah Belajar dan Pembelajaran PAUD. Penulis juga berterima
kasih kepada teman-teman yang telah memberi pengarahan dan petunjuk dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran dari dosen pembimbing maupun teman-teman sangat
penulis harapkan tegur sapanya untuk
perbaikan makalah ini dan selanjutnya.
Kepada Allah
SWT, kami memohon taufik dan hidayah-Nya semoga dalam pembuatan makalah ini
senantiasa dalam keridhaannya-Nya. Amin.
Kuningan, Juni
2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 1
BAB II. BERMAIN SEBAGAI SARANA BELAJAR AUD
2.1
Pengertian Bermain.................................................................................. 2
2.2
Fungsi dan manfaat
Bermain................................................................... 2
2.3
Karakteristik Bermain.............................................................................. 3
2.4
Peran Guru............................................................................................... 5
BAB III. PENUTUP
3.1
Kesimpulan.............................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 8
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Upaya pemanfaatan bermain untuk
kepentingan perkembangan dan belajar anak sudah sejak lama dirintis oleh para
ahli pendidikan anak usia dini. Misalnya, Frederich Froebel (1782-1852)
mengamati dan mempelajari aktivitas bermain anak dalam upaya mengembangkan
program pendidikan yang disebut dengan Kindergarten.
Berdasarkan hasil pengamatannya, ia mengembangkan program pendidikan yang
berorientasi pada kegiatan.
Maria Montessori (1870-1952) juga
melakukan pengamatan terhadap aktivitas bermain anak. Atas dasar hasil
pengamatannya itu, ia mengembangkan program pendidikan anak berbasis aktivitas
yang dikenal dengan metode Montessori.
Barulah pada tahun 1960-an, inovasi
penggunaan bermain untuk kepentingan pembelajaran dilakukan secara lebih nyata.
Melalui gerakan Nursery School di
inggris dan reformasi TK di Amerika Serikat, bermain mulai diterima sebagai
sesuatu yang sah dalam pendidikan anak usia dini. Para pendidik di
lembaga-lembaga pendidikan tersebut mengamati aktivitas bermain anak dan
melihat apa yang anak lakukan dalam bermain ternyata memuat sesuatu yang
potensial untuk belajar. Mereka melihat bagaimana anak menguji ide-ide,
mengabstraksikan informasi, dan melakukan sesuatu berdasarkan pada informasi
tersebut melalui bermain. Aktivitas bermain yang penyelenggaraan program
pendidikan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas,
terdapat beberapa rumusan masalah dalam kaitannya dengan Bermain Sebagai Sarana
Belajar Anak, yaitu sebagai berikut:
a.
Apa
pengertian Bermain itu?
b.
Fungsi
dan Manfaat Bermain?
c.
Apa
Karakteristik Bermain itu?
d.
Peran
Guru dalam Kegiatan Bermain Bersama Anak?
BAB II
BERMAIN SEBAGAI SARANA BELAJAR AUD
2.1
Pengertian
Bermain
Istilah bermain merupakan konsep
yang perlu dipahami dengan baik agar tidak terjadi kesalahan dalam menilai
kegiatan yang dilakukan oleh orang dewasa bersama anak, khususnya bersama anak
usia balita. Pada dasarnya, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan anak
secara berulang-ulang semata-mata demi kesenangan dan tidak ada tujuan atau
sasaran akhir yang ingin dicapainya. Jadi, khususnya pada anak usia balita,
apapun kegiatan yang dilakukan, selama membuat anak merasa senang, dapat dikategorikan
sebagai bermain. Kegiatan bermain yang dilakuka oleh anak, dapat dengan
mengunakan alat ataupun tanpa alat permainan, dilakukan dimana saja, kapan
saja.
Dengan demikian, yang menjadi
tantangan bagi orang dewasa adalah bagaimana memanfaatkan kegiatan bermain
untuk membantu anak belajar dalam suasana hati yang menyenangkan dan tanpa
beban. pada si anak, maksudnya atas prakarsa anak, dipacu oleh anak Caranya,
anatara lain dengan mengupayakan agar kegiatan yang dilakukan berpusat dan
mengikuti gaya anak.
2.2
Fungsi dan Manfaat Bermain
Bermain memiliki peran penting dalam
perkembangan anak pada hamper semua bidang perkembangan, baik perkembangan
fisik-motorik, bahasa, intelektual, moral, social, maupun emosional.
a.
Kemampuan
Motorik
Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa bermain memungkinkan anak bergerak secara bebas sehingga anak mampu
mengembangkan kemampuan motoriknya (Paiget, 1962; Curtis, 1977). Pada saat
bermain anak berlatih menyesuakan antara pikiran dan gerakan menjadi suatu
keseimbangan. Menurut Piaget, anak terlahir dengan kemampuan refleks, kemudian
ia belajar menggabungkan dua atau lebih gerak refleks, dan pada akhirnya ia
mampu mengontrol gerakannya. Melalui bermain anak belajar mengontrol gerakannya
menjadi gerak terkoordinasi.
b.
Bermain
Mengembangkan Kemampuan Kognitif
Menurut Piaget (1962), anak belajar
memahami pengetahuan dengan berinteraksi melalui objek yang ada di sekitarnya.
Bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan objek. Anak
memiliki kesempatan menggunakan indranya, seperti menyentuh, mencium, melihat,
dan mendengarkan untuk mengetahui sifat-sifat objek. Dari pengindraan tersebut
anak memperoleh fakta-fakta, informasi, dan pengalaman yang akan menjadi dasar
untuk berpikir abstrak. Jadi, bermain menjembatani anak dari berpikir konkret
ke berpikir abstrak. Vygotsky (1976) menyatakan bahwa pada saat bermain,
pikiran anak terbebas dari situasi kehidupan nyata yang menghambat anak berpik
abstrak. Kemampuan Afektif
Setiap permainan memiliki aturan.
Aturan akan diperkenalkan oleh teman bermain sedikit demi sedikit, tahap demi
tahap sampai setiap anak memahami aturan bermain. Oleh karena itu, bermain akan
melatih anak menyadari adanya aturan dan pentingnya memauhi aturan. Hal itu
merupakan tahap awal dari perkembangan moral (afeksi).
c.
Kemampuan
Bahasa
Pada saat bermain anak menggunakan
bahasa, baik untuk berkomunikasi dengan temannya maupun sekedar menyatakan
pikirannya (thinking aloud). Sering
kita menjumpai anak kecil bermain sendiri sambil mengucapakan kata-kata seakan-akan
ia bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Ia sebenarnya sedang “membahasakan”
apa yang ada dalam pikirannya. Menurut Vygotsky (1926) peristiwa seperti itu
menggambarkan bahwa anak sedang dalam tahap menggabungkan pikiran dan bahasa
sebagai satu kesatuan.
d.
Kemampuan
Sosial
Pada saat bermain anak berinteraksi
dengan anak yang lain. Interaksi tersebut mengajarkan anak cara merespons,
memberi dan menerima, menolak atau setuju dengan ide dan perilaku anak yang
lain.
2.3
Karakteristik Bermain
Kriteria untuk menentukan apakah
suatu kegiatan itu merupakan bermain atau bukan tidak selamanya dapat diamati.
Kita tidak bisa menentukan apakah suatu kegiatan itu bermain atau bukan, hanya
berdasarkan wujud kegiatannya, melainkan perlu pula mempertimbangkan alasan-alasan
atau motif-motif yang mendorong dilakukannya kegiatan tersebut. Dengan
demikian, suatu aktivitas yang merupakan bermain dalam kondisi tertentu bisa
menjadi bukan bermain dalam kondisi yang lain. Misalnya, mengendarai sepeda
yang dilakukan oleh para pembalap dalam suatu kejuaraan, berbeda dengan yang
dilakukan sehari-hari oleh anak di depan rumah. Apa yang dilakukan oleh para
pembalap tersebut dapat merupakan suatu pekerjaan atau profesi, tetapi yang
dilakukan oleh anak-anak dapat merupakan aktivitas bermain.
Dalam hal ini terdapat tujuh ciri
yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah sesuatu itu bermain atau
bukan, yakni volutir, spontan, terfokus pada proses, memberi ganjaran secara
intrinsik, menyenangkan, aktif, dan fleksibel (Solehuddin, 1996).
Pertama,
bermain
dilakukan secara voluntir. Bermain
dilakukan oleh anak secara suka rela tanpa paksaan atau tekanan dari orang
lain. Anak bermain atas keinginan dan kemauannya sendiri, bukan karena perintah
orang lain.
Kedua,
bermain itu spontan. Anak akan bermain kapan pun
mereka mau. Bermain tidak dilakukan anak dengan menempuh prosedur perencanaan
yang sistematik. Apa yang dilakukan anak dalam kegiatan bermain berlangsung
begitu saja sesuai dengan munculnya keinginan anak untuk bermain.
Ketiga,
kegiatan
bermain lebih berorientasi pada proses dari pada terhadap hasil atau
akhir kegiatan. Fokus dalam bermain adalah melakukan aktivitas bermain itu
sendiri, bukan hasil atau akhir dari kegiatannya. Anak sering tidak peduli
dengan akhir dari kegiatan yang dilakukan dalam bermain.
Keempat,
bermain
didorong oleh motivasi intrinsik. Maksudnya,
yang mendorong anak untuk melakukan kegiatan bermain tersebut adalah kegiatan
itu sendiri, bukan karena faktor-faktor luar yang bersifat ekstrinsik. Anak bermain karena menyukai kegiatan tersebut, bukan
karena hal-hal yang bersifat instrumental karena faktor-faktor eksternal,
misalnya didorong orang tua, untuk mendapatkan hadiah, dan lain-lain. Anak
gembira karena melkukan kegiatan bermain tersebut, bukan karena hadiah atau
karena ingin mendapat pujian dari orang lain.
Kelima,
bermain itu
pada dasarnya menyenangkan. Bukan
bisa memberikan perasaan-perasaan positif bagi para pelakunya. Oleh karena itu,
apa yang membuat anak senang atau puas dalam bermain adalah keterlibatannya
dalam aktivitas bermain itu sendiri. Dilihat dari ciri ini, semakin aktivitas
itu menyenangkan, maka hal tersebut semakin merupakan bermain. Sebaliknya,
semakin aktivitas itu menyiksa atau menyakitkan, maka hal itu semakin bukan
merupakan bermain.
Keenam,
bermain itu
bersifat aktif. Bermain memerlukan
keterlibatan aktif dari para pelakunya. Sesuatu yang terjadi secara pasif
walaupun voluntir dan menyenangkan, seperti mimpi, tidak dapat dikategorikan
sebagai bermain.
Ketujuh,
bermain itu
bersifat fleksibel. Dengan ciri ini
berarti anak yang bermain memiliki kebebasan untuk memilih jenis kegiatan yang
ingin dilakukannya atau untuk beralih dari kegiatan bermain yang satu ke
kegiatan yang lain
Dengan tujuh karakteristik di atas,
secara sederhana bermain dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan secara voluntir, spontan, terfokus pada proses, didorong oleh
motivasi intrinsik, menyenangkan, aktif, dan fleksibel.
2.4
Peran Guru dalam Kegiatan Bermain Bersama Anak
Keterlibatan guru dalam kegiatan
bermain yang dilakukan anak sangat diperlukan, dimana guru dapat berfungsi
untuk member dukungan pada anak di kala anak merasa dirinya tidak mampu, cemas,
dan malu, dan bersikap responsive terhadap perilaku serta keingintahuan anak.
1.
Beberapa
Hasil Penelitian mengenai Peran Guru yang Kurang Menunjang Kegiatan Bermain
Anak
Dari penelitian yang pernah
dilakukan oleh File dan Kontos pada tahun 1993 di Amerika Serikat (Johnson,
1999), diperoleh hasil bahwa para guru lebih banyak member dukungan dalam aspek
perkembangan kognitif dan kurang mengembangkan aspek sosial dari kegiatan
bermain. Bila aspek social kurang diperhatikan, dampak negatif akan lebih
dirasakan oleh anak yang kurang terampil dalam pertemanan. Anak-anak ini
semakin tersisih dari teman-teman lainnya.
Grinder dan Johnson (Johnson,1999)
melaporkan bahwa 27% dari waktu guru saat bermain bersama anak menunjukkan
keterlibatan yang mengganggu kegiatan bermain anak (play-interfering). Perilaku guru yang secara kasat mata dapat
mengganggu aktivitas bermain anak adalah mengambil alih permainan, memberikan
instruksi, memberikan perintah atau mengajal anak bercakap-cakap saat dia
sangat asyik dengan kegiatannya. Saat anak bermain konstruktif, sebaiknya tidak
usah menginstuksikan anak untuk membuat suatu bentuk atau menyuruh anak meniru
bentuk yang harus dibuat. Apabila guru
terlalu banyak ikut campur atau mau mempengaruhi anak maka akan
mengganggu keberlangsungan kegiatan bermain anak.
Yang menjadi bagian penting dari
peran guru dalam bermain bersama dengan anak adalah bagaimana guru melibatkan
diri dan bukan pada seberapa sering guru melibatkan diri dalam kegiatan bermain
bersama anak. Bila keterlibatan guru sesuai maka hal ini akan memperkaya
pengalaman serta wawasan anak.
2.
Beberapa
Hasil Penelitian mengenai Dampak Positif dari Keterlibatan Guru dalam Aktivitas
Bermain Bersama Anak
Apabila guru ikut bermain bersama
anak, ada beberapa hasil positif teramati, yaitu :
a.
Lamanya(durasi)
anak bermain bersama teman menjadi dua kali lipat dan biasanya, dibandingkan
bila mereka dilepas untuk bermain sendiri tanpa guru.
b.
Anak-anak
akan menampilkan kegiatan bermain kooperatif (tahap tertinggi dari kegiatan
bermain social yang di kemukakan oleh Parten). Berarti dengan keikutsertaan
guru, anak-anak mau melibatkan diri dalam kegiatan bermain yang lebih bersifat
social.
c.
Kegiatan
bermain yang dilakukan anak menunjukkan tahapan kognitif yang lebih tinggi.
d.
Dalam
aktivitas membaca buku, ternyata anak-anak menunjukkan minat membaca dan
menulis yang lebih tingggi.
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Bermain adalah dunia kerja anak usia
Balita dan kegiatan bermain ditanadai oleh rasa senang dari orang yang terlibat
di dalam kegiatan bermain. Oleh karena itu, menimbulkan rasa senang maka anak
akan lebih mudah mempelajari suatu hal. Dari kegiatan bermain anak dapat
memetik berbagai manfaat, baik dalam perkembangan fisik dan motoriknya, emosi
dan sosialnya, serta aspek kognitif dan bahasanya. Empat tahap kegiatan bermain
menurut Piaget, yaitu : (1) sensorimotor, usia 3-18 bulan. (2) simbolik. 18
bulan-sekitar 7 tahun, (3) bermain social, 8-11 tahun, serta bermain social dan
olahraga, 11 tahun sampai ke atas.
Meskipun istilah bermain akrab bagi
hamper setiap orang ternyata tidak mudah mendefinisikan bermain secara
komprehensif sehingga dapat memadukan berbagai pandangan. Bahkan, muncul aneka
ragam definisi atau pengertian tentang bermain yang dikemukakan oleh para ahli.
Munculnya aneka ragam pengertian tentang bermain ini bisa disebabkan oleh
karena: (1) istilah bermain digunakan dalam berbagai cara dan konteks kehidupan
sehari-hari, (2) studi-studi tentang bermain dilakukan dalam berbagai disiplin,
dan (3) kriteria untuk menentukan kegiatan bermain tidak selamanya dapat
diamati.
DAFTAR
PUSTAKA
Solehuddin, M. dkk. (2007). Pembaharuan Pendidikan TK. Modul 5.
Departemen Pendidikan Universitas Terbuka.
Rini, Hildayani. Dkk. (2005). Psikologi
Perkembangan Anak. Modul 4. Departemen Pendidikan Universitas Terbuka.
Suryanto, Slamet. (2005). Dasar-Dasar
Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar