Selasa, 08 Desember 2015

ILMU MAWARIS



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Pada aspek ibadah Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah sholat, zakat, puasa atau ibadah haji saja, tetapi juga yang menyangkut aspek-aspek lain, termasuk tata cara pembagian harta pusaka atau warisan, yang dalam ilmu fiqih disebut FARAID.
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras, yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Dalam hukum islam rukun waris ada tiga, yaitu;
1.   Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2.   Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3.   Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, terdapat beberapa rumusan masalah yang erat kaitannya dengan Mawaris, yaitu sebagai berikut:
1.    Apa pengertian Ilmu Mawaris itu ?
2.    Bagaimana kedudukan dan hukum mempelajari Ilmu Mawaris ?
3.    Apa saja tujuan Ilmu Mawaris ?
4.    Apa saja sumber hukum Ilmu Mawaris beserta ayat-ayatnya ?
5.    Apa hikmah mempelajari Ilmu Mawaris ?

1.3    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini, adalah sebagai berikut:
1.   Mengetahui pengertian Ilmu Mawaris.
2.   Memahami kedudukan dan hukum mempelajari Ilmu Mawaris.
3.   Memahami tujuan Ilmu Mawaris.
4.   Memahami hukum Ilmu Mawaris dan ayat-ayatnya.
5.   Memahami hikmah mempelajari Ilmu Mawaris.

BAB 2
ILMU MAWARIS

2.1    Pengertian Ilmu Mawaris
Menurut bahasa kata mawaris adalah bentuk jama’ dari kata ”mirats” yang menggunakan makna ”mauruts” artinya harta warisan yang ditinggalkan oleh mayit. Menurut istilah ilmu yang membahas tentang harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Yaitu, ilmu yang membahas pembagian harta pusaka atau ilmu yang menerangkan perkara pusaka. Pusaka dalam bahasa arab disebut attirkah. Peninggalan orang mati, yakni harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang telah mati untuk di bagikan kepada yang berhak menerimanya.
Pusaka wajib dibagi menurut mestinya sesuai dengan hukum yang telah ditentukan dalam al-Qur’an. Adapun setelah diterima kemudian diberikan kepada saudaranya yang dianggap lemah ekonominya dalam lingkungan keluarganya. Namun, harta benda itu wajib dibagikan menurut semestinya. Sesuai dengan hukum yang telah di tentukan Al- Qur’an.
Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid. Kata faraid merupakan kata jamak dari kata faridah. Yang artinya takdir atau ketentuan. Menurut istilah syara, faraid adalah ilmu tentang bagian yang telah ditentukan ahli waris. Dengan demikian, ilmu ini dinamakan ilmu mawaris karena membahas perkara yang berkaitan dengan harta peninggalan (harta warisan). Disebut ilmu faraid karena membahas ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan terhadap masing-masing ahli waris.

2.2    Kedudukan dan Hukum mempelajari Ilmu Mawaris
Harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia seringkali menimbulkan sengketa dan pertengkaran dalam sebuah keluarga, dimana akhirnya memutuskan hubungan silaturahmi atau tali persaudaraan dalam keluarga. Padahal memutuskan tali persaudaraan adalah hal yang diharamkan dalam islam. Putusnya tali persaudaraan disebabkan karena masing-masing ahli waris pada dasarnya ingin mendapatkan bagian yang banyak bahkan jika perlu mendapatkan seluruh harta warisan, sedangkan ahli waris lainnya tidak perlu mendapatkan bagian.
Untuk menghindari hal semacam itu maka Allah SWT menurunkan ketentuan dan aturan dalam mengatur pembagian harta warisan dengan aturan yang sudah pasti. Bukti bahwa masalah warisan adalah masalah yang sangat penting adalah adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bagian-bagian masing-masing ahli waris dengan jelas. Semua kebijakasanaan dalam hal ini adalah berasal dari Allah SWT karena seringkali manusia tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu dan hanya Allah sajalah yang mengetahui, sebagaimana dalam firman-Nya,
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya :
“Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagimu. Ini adalah ketentuan Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-nissa : 11)

Orang-orang yang mempunyai ilmu faraid (ilmu mawaris) hampir sudah tidak ada, dan pembagian waris yang diatur menurut syari’at Islam sudah tidak banyak dilaksanakan oleh umat islam sendiri. Kalau ada orang yang mati meninggalkan harta pusaka, tidak segera dibagikan kepada yang berhak menerimanya, sehingga akhirnya harta pusaka itu habis tidak terbagi.
Rasulullah SAW sudah mensinyalir keadaan yang demikian, sehingga beliau sangat menekankan kita kaum muslimin untuk mempelajari ilmu faraid (ilmu mawaris), karena ilmu ini lama-lama akan lenyap, yakni orang-orang menjadi malas untuk melaksanakan pembagian pusaka menurut semestinya, yang diatur hukum Islam.

Rasulullah SAW bersabda :
تعَلَّمُواالْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَاالنَّاسَ فَاِنِّى امْرُؤٌمَقبُوْضٌ وَاِنَّ الْعِلْمَ سَيُقبَضُ وَتَظْهَرُالْفِتَنُ حَتّى يَخْتَلِفَ اِثنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلايَجِدَانِ مَنْ يَّقضِيْ بَيْنَهُمَا ( رواه الحاكم )
Artinya :
 “Pelajarilah faraid (pembagian harta warisan) dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku adalah seorang manusia yang bakal dicabut nyawa. Dan sesunguhnya ilmu itu pun akan ikut tercabut pula. Juga akan hadir fitnah-fitnah sehingga terjadilah perselisihan antara dua orang karena hal warisan. Kemudian mereka berdua itu tidak mendapatkan orang yang akan memberi keputusan (terhadap masalah yang diperselisihkan itu) di antara mereka berdua.” (Riwayat Al-Hakim)

2.3     Tujuan Ilmu Mawaris
Bagi umat islam, segala persoalan hidup manusia baik yang terkait dengan Allah dan yang terkait dengan manusia lainnya adalah diatur di dalam syariat islam, Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
”Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar (melampaui) ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, sedang ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan”. (Qs. An-Nisa’:14)
            Adapun tujuan dari ilmu mawaris adalah :
a)    Agar kaum muslimin dapat bertanggung jawab dalam melaksanakan syariat islam bidang pembagian harta warisan
b)   Dapat memberikan solusi terhadap pembagian harta warisan yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulnya dan dapat terhindar dari pembagian yang salah (menurut kepentingan pribadi)
c)    Untuk menyelamatkan harta benda si mati agar terhindar dari pengambilan harta orang-orang yang berhak menerimanya dan agar jangan ada orang-orang yang makan harta hak milik orang lain, dan hak milik anak yatim dengan jalan yang tidak halal.

Dalam firman-Nya :
وَلا تَأكُلوْا امْوَالكُمْ بَيْنَكُمْ بِالبَاطِل
Artinya :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah : 188)
Agar umat islam dapat membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan nash al-quran dan hadis sesuai dengan keadilan sosial dan tugas serta tanggung jawab masing-masing ahli waris. Adapun sebab–sebab waris-muwaris
Seseorang menerima warisan / menjadi ahli waris apabila mereka mempunyai hubungan nasab, hubungan perkawinan, dan hubungan karena wala’ dan kesamaan agama.
1.   Sebab nasab (hubungan kerabat).
Seseorang akan memperoleh harta warisan sebab hubungan nasab, mempunyai
hubungan darah / mempunyai hubungan keluarga dengan pewaris.
2.   Sebab perkawinan
Perkawinan yang salah menyababkan adanya hubungan saling mewarisi antara suami dan istri yaitu- perkawinan dan syarat dan hukumnya terpenuhi.
3.   Sebab wala’
Al-wala adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya / melalui perjanjian tolong-menolong.
4.   Sebab persamaan agama
Kalau seseorang tidak mempunyai ahli waris maka harta peninggalanya di serahkan pada baitul mal untuk kepentingan umat islam
5.   Pembunuh orang yang membunuh kerabatanya
Tidak berhak mendapatkan harta warisan dari yang terbunuh.
2.4     Sumber Hukum Ilmu Mawaris dan Ayat-Ayatnya
Ilmu mawaris termasuk ilmu syariah, yakni ilmu yang terkait dengan masalah ibadah dan muamalah yang segala hukum dan tata caranya didasarkan pada syara’ (agama).
Melihat banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang secara terperinci menerangkan tentang pembagian harta warisan, maka dapat dipahami bahwa masalah faraid (ilmu mawaris) adalah sangat penting. Hal tersebut juga bisa dilihat dari salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang meletakkan ilmu faraid sebagai salah satu dari tiga pilar agama.
Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul bukan bersumber kepada pendapat seseorang yang terlepas dari jiwa Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah mawaris, antara lain : 
Artinya:                 
bagi laki-laki ada bagian dari harta yang di tinggalkan oleh ibu-bapak dan kerabatnya. Dan bagi wanita ada bagian dari harta yang di tinggalkan oleh ibu bapak dan kerabatnya baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah di tetapkan. (An Nisa’:7)

            Adapun dasar hukum waris yang berasal dari sunnah Rasul antara lain:
Artinya : bagi seorang  yang membunuh tidak mendapat hak waris (HR. An  Nasai)

2.5     Hikmah Mempelajari Ilmu Mawaris
Dalam ayat-ayat Mawaris Allah menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, menunjukkan bagian warisan dan syarat-syaratnya, menjelaskan keadaan-keadaan dimana manusia mendapat warisan dan dimana ia tidak memperolehnya, kapan ia mendapat warisan dengan penetapan atau menjadi ashobah (menunggu sisa atau mendapat seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus dan kapan ia terhalang untuk mendapatkan warisan sebagian dan seluruhnya.
Begitu besar derajat ilmu fara'id bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai separuh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’I dan Daru Quthni:
 "Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu fara'id dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisih dan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara mereka"
Hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu fara'id, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan ulama fara'id. Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Hikmah khusus dari pembagian warisan adalah sebagai berikut:
1.      Upaya meneruskan (mengganti) kedudukan mayat dalam martabat dan kemuliaan, karena setiap orang pasti berusaha agar mendapatkan keturunan yang bisa menempati kedudukan dan martabatnya apabila ia sudah meninggal.
2.      Terciptanya rasa pengabdian, kasih sayang, dan persaudaraan di antara kerabat keluarga.
3.      Mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah Rasul yang terkait dengan harta warisan karena di dalam pengamalan tersebut terkandung nilai-nilai keadilan, kedamaian dan kebersamaan di dalam keluarga sesuai dengan kodrat dan tanggung jawabnya. Sebagaimana perbedaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan, adanya hijab (penghalang), adanya asabah (sisa), dan lain-lain.

BAB 3
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Menurut bahasa kata mawaris adalah bentuk jama’ dari kata ”mirats” yang menggunakan makna ”mauruts” artinya ”harta warisan” yang ditinggalkan oleh mayit. Menurut istilah ilmu yang membahas tentang harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Yaitu, ilmu yang membahas pembagian harta pusaka atau ilmu yang menerangkan perkara pusaka. ilmu ini dinamakan ilmu mawaris karena membahas perkara yang berkaitan dengan harta peninggalan (harta warisan). Disebut ilmu faraid karena membahas ketentuan-ketentuan atau bagian-bagian yang telah ditentukan terhadap masing-masing ahli waris.
Bukti bahwa masalah warisan adalah masalah yang sangat penting adalah adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bagian-bagian masing-masing ahli waris dengan jelas. Semua kebijakasanaan dalam hal ini adalah berasal dari Allah SWT karena seringkali manusia tidak dapat mengetahui hakikat sesuatu dan hanya Allah sajalah yang mengetahui.
Adapun tujuan dari ilmu mawaris adalah :
a)    Agar kaum muslimin dapat bertanggung jawab dalam melaksanakan syariat islam bidang pembagian harta warisan
b)   Dapat memberikan solusi terhadap pembagian harta warisan yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulnya dan dapat terhindar dari pembagian yang salah (menurut kepentingan pribadi)
c)    Untuk menyelamatkan harta benda si mati agar terhindar dari pengambilan harta orang-orang yang berhak menerimanya dan agar jangan ada orang-orang yang makan harta hak milik orang lain, dan hak milik anak yatim dengan jalan yang tidak halal.
Ilmu mawaris termasuk ilmu syariah, yakni ilmu yang terkait dengan masalah ibadah dan muamalah yang segala hukum dan tata caranya didasarkan pada syara’ (agama).
Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul bukan bersumber kepada pendapat seseorang yang terlepas dari jiwa Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul.

Hikmah khusus dari pembagian warisan adalah sebagai berikut:
1)   Upaya meneruskan (mengganti) kedudukan mayat dalam martabat dan kemuliaan, karena setiap orang pasti berusaha agar mendapatkan keturunan yang bisa menempati kedudukan dan martabatnya apabila ia sudah meninggal.
2)   Terciptanya rasa pengabdian, kasih sayang, dan persaudaraan di antara kerabat keluarga.
3)   Mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah Rasul yang terkait dengan harta warisan karena di dalam pengamalan tersebut terkandung nilai-nilai keadilan, kedamaian dan kebersamaan di dalam keluarga sesuai dengan kodrat dan tanggung jawabnya. Sebagaimana perbedaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan, adanya hijab (penghalang), adanya asabah (sisa), dan lain-lain.


3.2    Saran
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bias dipahami, mohon maaf yang sebesar-besarnya dan kami sangat berterima kasih apabila ada saran/kritik yang bersifat membangun sebagai penyempurna dari makalah ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar