Selasa, 08 Desember 2015

PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN ANAK TUNARUNGU




MAKALAH
“PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN ANAK TUNARUNGU”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
PG-PAUD Semester 7
Dosen Pengampu : Ibu Erna Juherna, M.Pd.I

Disusun oleh :
Nama  :
-      NURRUL PRIMA WISTRI
-      ELIS SUHARYANTI
-      NURUL PONIAN SARI
124223033
124223009
124223057
PRODI  :
PG-PAUD SMT 7



SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) Muhammadiyah Kuningan
2012 - 2013
Jl.Murtasiah Supomo No.28 Telp.(0232) 874085 Kuningan 45511
Website :www.umku.ac.id




KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Pendidikan dan Bimbingan Anak Tunarungu.
            Penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, PG-PAUD Semester 7. Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing dalam penulisan makalah ini. Walaupun makalah ini belum sempurna tetapi penulis merasa bangga terhadap hasil yang dicapai.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca pada umumnya. Kritik yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.

Kuningan,   Oktober  2015


Penulis




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... ........ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB  I    PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.       Tujuan........................................................................................................ 2

BAB  2     PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN ANAK TUNARUNGU
A.         Pengertian Anak Tunarungu.................................................................... 3
B.        Penyebab Ketunarunguan........................................................................ 4
C.          Klasifikasi Gangguan Ketunarunguan..................................................... 7
D.         Metode Pembelajaran.............................................................................. 11
E.          Strategi dan Media Pembelajaran............................................................ 15
F.           Tempat / Sistem Layanan......................................................................... 16
G.         Layanan Bimbingan bagi Anak Tunarungu............................................. 17

BAB  3      PENUTUP
A.         Kesimpulan.............................................................................................. 21
Daftar Pustaka........................................................................................................... 23


 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Anak Tunarungu
Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketuna runguan di bandung (19 juni 1988) mengemukakan bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang, terutama indra pendengaran.
Menurut batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi anak luar biasa bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum mengemukakan bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebakan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembanganya sehingga memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1).
Ahli lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau dari segi medis dan pedagogis sebagai berikut : “Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus”. ( Salim,1984 : 8)
Orang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, biasanya pada tingkat 70 dB ISO atau lebih besar sehinga menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri tanpa mengunakan alat bantu dengar. Seseorang dikatakan kurang mendengar adalah ketidak mampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, bisanya pada tingkat 35 sampai 69 Db ISO tetapi tidak menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melauli pendengaranya sendiri tanpa atau menggunakan alat bantu dengar.
Pernyataan tersebut kurang lebih berarti bahwa tunarungu adalah suatu istilah umun yang menunjukan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat dan di golongkan kedalam bagian tuli dan kurang dengar.
 Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga tidak dapat memproses informasi bahasa melalui pendengaran dengan atau tanpa alat bantu dengar. Sedangkan orang kurang dengar adalah seseorang yang pada umumnya menggunakan alat bantu dengar sisa pendengarannya  cukup memungkinkan keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengarannya.
Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami hambatan dalam mendengar  yang di sebabkan karena tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan  alat pendengaran sehingga anak memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus agar dapat mengembangkan bahasa serta potensi yang dimiliki anak seoptimal mungkin.
Atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa anak tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya indra pendengaran sehingga mengalami hambatan dalam perkembanganya. Denagn demikian anak tuna rungu memerlukan pendidikan secara khusus untuk mencapai kehidupa lahir batin yang layak.



B.     Penyebab Ketunarunguan
Banyak faktor yang menyebakan seseorang mengalami ketunarunguan, sebagaimana diungkapkan dalam buku petunjuk praktis penyelenggaraan Sekolah Luara Biasa bagian B atau tuna rungu, Depdikbud (1985: 23) mengemukakan bahwa Penyebab ketuna runguan tersebut dijabarkan sebagai berikut :
1.      Masa Prenatal.
Pada masa prenatal pendengaran anak menjadi tuna rungu disebakan oleh:
a.    Faktor keturunan atau hereditas.
b.    Anak mengalami tuna rungu sejak dia dia dilahirkan Karena ada di antara keluarga ada yang tuna rungu genetis akibat dari rumah siput tidak berkembang secara normal, dan ini kelainan corti (selaput-selaput).
c.    Cacar air, campak (rubella, german measles).
d.   Pada waktu ibu sedang mengandung menderita penyakit campak, cacar air, sehingga anak yang di lahirkan menderita tunarungu mustism (tak dapat bicara lisan).
e.    Toxamela (keracunan darah).
f.     Apabila ibi sedang mengandung menderita keracunan darah (toxameia) akibatnya placenta menjadi rusak. Hal ini sangat berpengaruh pada janin. Besar kemungkinan anak yang lahir menderita tuna rungu. Menurut Audiometris pada umumnya anak ini kehilangan pendengaran 70-90 dB.
g.    Penggunaan obat pil dalam jumlah besar.
h.    Hal ini akibat menggugurkan kandungan dengan meminum banyak obat pil pengggugur kandngan, tetapi kandunganya tidak gugur, ini dapat mengakibatkan tuna rungu pada anak yang dilahirkan, yaitu kerusakan cochlea.
i.      Kelahiran premature.
j.      Bagi bayi yang dilahirkan premature, berat badanya di bawah normal, jaringan-jaringan tubuhnya lemah dan mudah terserang anoxia (kurangnya zata asam). Hal ini merusak inti cochlea (cochlear nuclei).
k.    Kekeurangan Oksigen (anoxia).
l.      Anoxia dapat mengakibatkan kerusakan pada inti brain system dan bagal ganglia. Anak yang dilahirkan dapat menderita tuna rungu pada taraf berat.
2.      Masa Neo Natal
a.       Faktor rhesus ibu dan anak tidak sejenis.
b.      Manusia selain mempinyai jenis darah A-B-AB-0. Juga mempunyai jenis darah factor rh positif dan negative. Kedua jenis rh tersebut masing-masing normal. Tetapi ketidak cocokan dapat terjadi apabila seseorag perempuan ber-rh negatif kawin dengan seseorang laki-laki ber-rh positif, seperti ayahnya tidak sejenis dengan ibunya. Akibat sel-sel darah itu membentuk anti body yang justru merusak anak. Akibatnya anak menderita anemia (kurang darah) dan sakit kuning setelah dilahirkan, hal ini dapat berakibat anak menjadi kurang pendengaran.
c.       Anak lahir premature atau sebelum 9 bulan dalam kandungan. Anak yang dilahirkan prematur, mempunyai gejala-gejala yang sama dengan anak yang rh nya tidak sejenis dengan rh ibunya, yaitu akan menderita anemia dan mengakibatkan anoxia.
3.        Post Natal
a.       Sesudah anak lahir dia menderita infeksi misalnya campak (measles) infection atau anak terkena syphilis sejak lahir karena ketularan orang tuanya. Anak dapat menderita tunarungu perseptif. Virus akan menyerang cairan cochlea.
b.      Meningitis (peradangan selaput otak).
c.       Penderita meningitis mengalami ketulian yang perseptif, biasanya yang mengalami kelainan ialah pusat syarf pendengaran.
d.      Tuli perseptif yang bersifat keturunan.
e.       Ketunarunguan ini akibat dari keturunan orang tuanya.
f.       Otitis media yang kronis.
g.      Cairan otitis media yang kekuning-kuningan menyebakan kehilanagn pendengaran secara konduktif. Pada secretory media akibatnya sama dengan kronis atitis media, yaitu keturunan konduktif.
h.      Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan.
i.        Infeksi pada alat-alat pernafasan, misalnya pembesaran tonsil adenoid dapat menyebabkan ketuna runguan konduktif (media penghantar suara tidak berfungsi).
j.        Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat-alat pendengaran bagian dalam.
k.      Dari beberapa faktor yang telah dijabarkan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa penyebab ketunarunguan tidak saja dari faktor dalam individu seperti ketuna runguan dari orang tua atupun pada saat ibu mengandung terserang penyakit. Tetapi faktor di luar diri individu mempunyai peluang yang mengakibatkan seseorang mengalami ketuna runguan, seperti infeksi peradangan dan kecelakaan.


C.    Klasifikasi Ketunarunguan
Menurut Hallahan dan Kauffman klasifikasi ketunarunguan berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran di bagi kedalam dua kelompok besar yaitu tuli (deaf)  dan kurang dengar (hard of hearing).
Klasifikasi lain dikemukakan oleh Streng yang dikutip Somad dan Hernawati ( 1997 : 28-31 ) sebagai berikut:
1.      Mild Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 20-30 dB yang  memiliki ciri- ciri :
a.       Sukar mendengar percakapan yang lemah.
b.      Menuntut sedikit perhatian khusus dari sistem sekolah tentang     kesulitannya.
c.       Perlu latihan membaca ujaran dan perlu diperhatikan perkembangan        penguasaan perbendaharaan kata.

2.      Marginal Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 30-40 dB yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter.
b.      Mereka sulit menangkap percakapan dengan pendengaran pada jarak normal dan  kadang-kadang mereka mendapat kesulitan dan menangkap percakapan kelompok.
c.       Mereka akan sedikit mengalami kelainan bicara dan perbendaharaan kata yang terbatas.
d.      Kebutuhan dalam program pendidikan antara lain belajar membaca, penggunaan alat bantu dengar, latihan bicara, latihan artikulasi dan perhatian dalam perkembangan perbendaharaan kata.
3.      Moderat loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 40-60 dB yang   memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Mereka mengerti percakapan keras pada jarak satu meter.
b.      Perbendaharaan kata terbatas
4.      Severa loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 60-70 dB. Memiliki ciri-ciri :
Mereka masih biasa mendengar suara keras dari jarak yang dekat misalnya klakson mobil dan lolongan anjing. Mereka diajar dalam suatu kelas khusus untuk anak-anak tunarungu. Diperlukan latihan membaca ujaran dan pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan bicara dari guru kelas khusus.
5.      Profound loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 75 dB keatas. Memiliki ciri :
Mendengar suara yang keras pada jarak 1 inci (2,24 cm) atau sama sekali tidak mendengar walaupun menggunakan alat bantu dengar.


D.    Karakteristik Anak Tunarungu
Semua individu memiliki karakteristik tertentu demikian pula anak-anak yang mengalami ketunarunguan dan dampak yang
Klasifikasi gangguan tunarungu
  Klasifikasi Ketunarunguan Berdasarkan Penyebabnya
Terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut penyebabnya : 
1.      Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga. 
2.      Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak. 
3.      Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya. 
Seorang anak dapat juga mengalami kombinasi bentuk-bentuk ketunarunguan tersebut. 
  Klasifikasi Berdasarkan Keberfungsian Pendengaran
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, ketunarunguan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu :
1.      Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
2.      Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
3.      Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
4.      Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin baginya, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada komunikasi visual. 
Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel. Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz. 
  Klasifikasi menurut umur saat kehilangan pendengaran :
1.      Pre-lingual, yaitu anak yang lahir  dengan kelainan pendengaran atau kehilangan pendengarannya pada masa kanak-kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk. Termasuk dalam ketegori tunarungu berat.
2.      Post-lingual, yaitu anak lahir dan sudah memahami suatu percakapan tiba-tiba mengalami kehilangan ketajaman pendengaran. Termasuk dalam kategori tunarungu sedang atau ringan.
  Klasifikasi menurut derajat kehilangan daya dengarnya :
1.      Tuli (tunarungu  berat) jika kehilangan kemampuan mendengar 70 dB  atau lebih menurut ISO sehingga ia akan mengalami kesulitan  untuk mengerti atau memahami  pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu mendengar atau tanpa alat bantu mendengar (hearing aid).
2.      Lemah pendengaran  jika ia kehilangan kemampuan mendengar antara 35-96 dB menurut ISO sehingga mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti dan mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar.


  Klasifikasi menurut tempat terjadinya kerusakan :
1.      Tunarungu konduktif (telinga luar/tengah). Ketunarunguan tipe ini terjadi karena beberapa organ yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga bagian luar, seperti liang telinga, selaput gendang, serta ketiga tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes) yang terdapat ditelinga bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami gangguan.
2.      Tunarungu perspektif  (telinga dalam). Ketunarunguan tipe perspektif disebabkan terganggunya organ-organ pendengaran yang terdapat di belahan telinga bagian dalam. Hal ini terjadi jika getaran suara yang diterima oleh telinga bagian dalam (terdiri dari rumah siput, serabut saraf pendengaran, corti) yang mengubah rangsang mekanis menjadi rangsang elektris, tidak dapat diteruskan ke pusat pendengaran di otak.  Oleh karena itu, tunarungu tipe ini disebut juga tunarungu saraf (saraf yang berfungsi untuk mempersepsi bunyi dan suara).
3.      Tunarungu Campuran. Ketunarunguan tipe campuran ini sebernarnya untuk menjelaskan bahwa pada telinga yang sama rangkaian organ-organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan menerima rangsangan suara mengalami gangguan, sehingga yang tampak pada telinga tersebut telah terjadi campuran antara ketunarunnguan konduktif dan perspektif.
  Klasifikasi menurut  kepentingan tujuan pendidikannya
1.      Anak Tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20 – 30 dB (slight losses). Ciri-ciri: kemampuan mendengar masih baik, tidak mengalami kesulitan memahami pembicaraan, dapat belajar bicara secara efektif dengan melalui kemampuan pendengarannya, perlu diperhatikan kekayaan perbendaharaan bahasanya supaya perkembangan bicara dan bahasanya tidak terhambat. Untuk kepentingan pendidikannya cukup hanya memerlukan latihan membaca bibir untuk  pemahaman percakapan.
2.      Anak Tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30 – 40 dB (mild losses). Ciri-ciri:  dapat mengerti percakapan biasa pada jarak sangat dekat, tidak mengalami kesulitan untuk mengekspresikan isi hatinya, tidak dapat menangkap suatu percakapan lemah, dan kesulitan menangkap isi pembicaraan dari lawan bicara jika tidak berhadapan. Kebutuhan layanan  pendidikannya yaitu membaca bibir, latihan pendengaran, latihan bicara artikulasi, serta latihan kosakata.
3.      Anak Tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40 – 60 dB (moderate losses). Ciri-ciri: mengerti percakapan keras pada jarak dekat, sering terjadi salah paham pada lawan bicara jika diajak bicara, kesulitan menggunakan bahasa dengan benar dalam percakapan, dan pembendaharaan kosakatanya sangat terbatas. Kebutuhan layanan  pendidikannya yaitu latihan artikulasi, latihan membaca bibir, latihan kosakata, serta perlu menggunakan alat bantu dengar.
4.      Anak Tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60 – 75 dB (severe losses). Ciri-ciri : kesulitan membedakan suara, dan tidak memiliki kesadaran bahwa benda-benda disekitarnya memiliki getar suara. Kebutuhan layanan  pendidikannya yaitu perlu layanan khusus dalam belajar bicara maupun bahasa, menggunakan alat bantu dengar. Tunarungu ini disebut juga tunarungu pendidikan, artinya mereka benar-benar dididik sesuai dengan kondisi tunarungu.
5.      Anak Tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 Db ke atas (profoundly losses). Ciri-ciri bisa mendengar suara keras sekali dalam jarak 1inci atau sama sekali tidak bisa mendengar.  Kebutuhan layanan pendidikan untuk kelompok ini antara lain, latihan membaca bibir, latihan mendengar untuk kesadaran bunyi, latihan membentuk dan membaca ujaran dengan menggunakan metode-metode pengajaran yang khusus, seperti tactile kinesthetic, visualisai yang dibantu dengan segenap kemampuan indranya yang tersisa.
  Klasifikasi menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris. Menurut Andreas Dwijo Sumarto (dalam Sutjihati Soemantri, 1996: 76) untuk kepentingan pendidikan ketunarunguan sebagai berikut :
Tingkat I                                         :             Kehilangan kemampuan mendengar antara 35-40 dB penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.
Tingkat II                                       :             Kehilangan kemampuan mendengar antara 55-69 dB pendeita memerlukan sekolah secara khusus dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan.
Tingkat III                                      : Kehilangan kemampuan mendengar antara 70-89 dB
Tingkat IV                                      : Kehilangan kemampuan mendengar 70 dB ke atas anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat II s/d IV pada hakekatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus
  Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel A. Kirk (dalam P. Somad dan T. Herawati, 1996: 29) :
1.      0 dB                : Menunjukkan pendengaran yang optimal
2.      0 – 26 dB        : Menunjukkan orang masih mempunyai pendengaran yang normal
3.      27 – 40 dB      : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan)
4.      41 – 55 dB      : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat Bantu dengar dan terapi bicara (tergolongan tunarungu sedang)
5.      56 – 70 dB      : Hanya dapat mendengar suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tunarungu agak berat)
6.       71 – 90 dB     : Hanya dapat mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif membutuhkan alat Bantu dengar dan latihan bicara khusus (tergolong tunarungu berat)
7.      91 db ke atas   : Mungkin sadar adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu berat sekali)
  Klasifikasi anak tunarungu menurut Myklebus (dalam Muljono Abdurrahman dan Sudjadi S, 1994: 61) :
1.      Tingkat pendengaran, yaitu bergantung pada tingkatan kehilangan pendengaran dalam pendengaran decibel sebagai hasil pengukuran dengan alat audiometer standar ISO (International Standart Organization), yaitu :
a.       Sangat ringan 27 – 40 dB
b.      Ringan 41 – 55 dB
c.       Sedang 56 – 70 dB
d.      Berat 71 – 90 dB
e.       Berat sekali 91 dB ke atas
2.      Waktu rusaknya pendengaran
a.       Bawaan     : Tunarungu sejak lahir dan tunarungu indra pendengaran sudah tidak berfungsi untuk maksud kehidupan sehari-hari.
b.      Perolehan  : Anak lahir dengan pendengaran normal akan tetapi di kemudian hari indra pendengarannya menjadi tidak berfungsi yang disebabkan karena kecelakaan atau suatu penyakit.
3.      Tempat terjadinya kerusakan pendengaran
a.       Kehilangan pendengaran konduktif,  yaitu hilangnya pendengaran disebabkan oleh gangguan pada telinga luar dan telinga bagian tengah sehingga menghambat jalannya suara ke telinga bagian dalam.
b.      Kehilangan pendengaran sensori-neural, disebabkan oleh kerusakan pada telinga bagian dalam.
c.       Kehilangan pendengaran campuran disebabkan adanya kerusakan di telinga bagian tengah dan bagian dalam.
d.      Kehilangan pendengaran sentral atau perceptual, disebabkan oleh kerusakan pada syaraf pendengaran
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi ketunarunguan berdasarkan atas tingkat gangguan pendengaran, waktu terjadinya ketunarunguan dan tempat terjadinya kerusakan pendengaran sehingga menunjukkan bahwa semakin besar jumlah kehilangan pendengaran maka semakin parah atau semakin buruk kemampuan berbicara dan makin sulit berkomunikasi. Kemampuan kognitif anak tunarungu pada umumnya normat atau ratarata. Anak tunarungu kurang dalam penguasaan dan pemahaman dalam hal berbahasa untuk mengerti berbagai hal. Mereka memiliki hambatan dan keterbatasan dalam memahami arti bahasa atau kata-kata yang bersifat abstrak. Akibat dari kurang kemampuan daya abstraksi anak tunarungu akan mengalami prestasi belajar yang lebih rendah dibandingkan dengan anak mendengar. Rendahnya prestasi belajar anak tunarungu bukan karena kemampuan yang rendah, tetapi karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan berkembang secara maksimal.
paling mencolok yaitu terhambatnya perkembangan bahasa dan bicara, mereka terbatas dalam kosa kata dan pengertian kata-kata yang abstrak. Hal ini karena mereka hanya memanfaatkan penglihatan dalam belajar bahasa. Belajar bahasa hanya melalui penglihatan memiliki banyak kelemahan-kelemahan sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan intelegensinya secara maksimal, akibatnya mereka tampak bodoh.
Perkembangan bahasa anak tunarungu pada awalnya tidak berbeda dengan perkembangan bahasa anak normal sekitar usia enam bulan anak mencapai pada tahap meraban. Pada perkembangan ini semua anak mengalaminya karena merupakan awal untuk belajar bahasa.
Anak yang sejak lahir mengalami ketunarunguan, pada saat bayi mengulang-ulang bunyi bayi tidak dapat mendengar bunyi yang dikeluarkan begitu pula ia tidak dapat mendengar respon yang dikeluarkan oleh orang tua atau orang-orang yang dekat darinya.
Ada beberapa perbedaan karakteristik anatara anak tunarungu dengan anak normal. Hal ini disebabkan keadaan mereka yang sedemikian rupa sehingga mempunmyai karakter yang khas yang menyebabkan anak tunarungu mendapatkan kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga mereka perlu mendapat pembinaan yang khusus untuk mengatasi masalah ketunarunguan.
Karakteristik yang khas dari anak tunarungu adalah sebagai berikut:
1.        Fisik
       Jika dibandingkan dengan kecacatan lain nampak jelas dalam arti tidak terdapat kelainan. Tetapi bila diperhatiakan lebih teliti mereka mempunyai karakteristik seperti yang dikemukakan oleh Tati Hernawati (1990 : 1) sebagai berikut :
a.       Cara berjalan kaku dan agak membungkuk hal ini terjadi pada anak tunarungu yang mempunyai kelainan atau kerusakan pada alat keseimbangannya.
b.      Gerakan mata cepat yang menunujukan bahwa ia ingin menguasai lingkungan sekitarnya.
c.       Gerakan kaki dan tangan yang cepat.
d.      Pernapasan yang pendek dan agak terganggu. Kelainan pernapasan terjadi karena tidak terlatih terutama pada masa meraban yanmg merupakan masa perkembangan bahasa.
2.        Bahasa dan Bicara
       Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Dengan kondisi yang disandangnya anak tunarungu akan mengalami hambatan dalam bahasa dan bicaranya. Pada anak tunarungu proses penguasaan bahasa tidak mungkin diperoleh melalui pendengaran. Dengan demikian anak tunarungu mempunyai ciri-ciri perkembangan bahasa sebagai berikut:
a.       Fase motorik yang tidak teratur.
Pada fase ini anak melakukan gerakan-gerakan yang tidak teratur, misalnya :
1)      Gerakan tangan.
2)      Menangis. Menangis permulaan adalah gerak refleks dari bayi yang baru lahir. Menangis sangat penting bagi perkembangan selanjutnya karena dengan menangis secara tidak sengaja sudah melatih otot-otot bicara, pita suara dan paru-paru.
b.       Fase meraban (babbling)
1)      Mimik perangai ibu
Pada awal fase meraban (babling) tidak terjadi hambatan karena fase meraban ini merupakan kegiatan alamiah dari pernapasan dan pita suara.
2)      Bayi babling 
Mula-mula bayi babling, kemudian ibu meniru. Tiruan itu terdengar oleh bayi dan ditirukan kembali. Peristiwa inilah yang mkenjadi proses terpenting dalam pembinaan bicara anak. Bagi anak tunarungu tidak terjadi pengulangan bunyinya sendiri, karena anak tunarungu tidak mendengar tiruan ibunya. Dengan demikian perkembangan bicara selanjutnya menjadi terhambat.
c.       Fase penyesuaian diri. 
Suara-suara yang diujarkan orang tua dan ditiru oleh bayi kemudian ditirukan kembali oleh orang tuanya secara terus menerus. Pada anak tunarungu hal tersebut terbatas pada peniruan penglihatan (visual) yaitu gerakan-gerakan atau isyarat-isyarat, sedangkan peniruan pendengaran (auditif) tidak terjadi karena anak tunarungu tidak dapat mendengar suara.
Tiga faktor yang saling berkaitan antara ketidak mampuan bahasa dan bicara dengan ketajaman pendengaran adalah sebagai berikut :
(1)   Penerima auditori tidak cukup sebagi umpan balik ketika ia membuat suara.
(2)   Penerimaan verbal dari orang dewasa tidak cukup menunjang pendengarannya.
(3)   Tidak mampu mendengar contoh bahasa dari orang mendengar.
       Ciri khusus anak tunarungu berkenaan dengan bahasanya adalah miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang mengandung arti kiasan. Sedangkan ciri-ciri anak tunarungu  berkenaan dengan bicaranya adalah nada bicaranya tidak beraturan, bicaranya terputus-putus akibat dari penguasaan kosa kata yang terbatas, dalam bicara cenderung diikuti oleh gerakan-gerakan tubuh serta sulit menguasai warna dan gaya bahasa.
3.       Intetelegensi
Secara garis besar pendapat tentang intelegensi anak tunarungu di klasifikasikan menjadi tiga bagian:
a.       Pertama anak tunarungu dianggap sama dengan anak normal
b.      Kedua, dianggap bahwa  intelegensi anak tunarungu lebih rendah dari anak normal .
c.       Bahwa anak tunarungu mengalami kekurangan potensi intelektual pada segi non verbal.
d.      Kepribadian dan emosi.
       Semua anak memerlukan perhatian dan dapat diterima di lingkungan yang di tempati. tidak terkecuali anak tunarungu, tetapi semua itu akan sulit didapatkan oleh anak tunarungu karena mereka hanya dapat merasakan ungkapan tersebut melalui kontak visual. Berbeda dengan anak normal yang dapat merasakan ungkapan yang diberikan melalui nada suara yang diperoleh dengan cara mendengar. Hal ini akan berpengaruh pada perkembangan emosi anak tunarungu. Karena keadaanya itu anak tunarungu merasa terasing dan terisolasi dari lingkungannya. Sering terjadi, ketidak mampuan mereka dalam berkomunikasi mengakibatkan suatu kekurangan dalam keseluruhan pengalaman anak yang sebenarnya dasar bagi perkembangan, sikap dan kepribadian.
       Beberapa sifat yang terjadi pada anak tunarungu akibat dari kekurangannya  adalah :
1)      Sifat egosentris yang lebih besar daripada aanak normal, dunia penghayatan mereka lebih sempit maka akan lebih terarah pada dirinya sendiri. Sifat egosentis ini berarti :
a)      Sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan pada perasaan orang  lain.
b)      Dalam perilakunya sering di kuasai oleh perasaan dan pikiran sendiri   mereka sulit menyusuaikan diri.
2)      Mempunyai perasaan takut akan hidup.
3)      Sikap ketergantungan kepada orang lain.
4)      Perhatian yang sukar di alihkan.
5)      Kemiskinan dalam bidang fantasi.
6)      Sifat yang polos, sederhana tanpa banyak problem.
7)      Mereka dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
8)      Lekas marah dan cepat tersinggung.
9)      Kurang mempunyai konsep tentang relasi atau hubungan.
4.        Sosial
       Setiap manusia memerlukan interaksi dengan lingkungannya. Untuk dapat berinteraksi dengan baik terhadap lingkungannya di perlukan kematangan social.  Saran untuk mencapai kematangan sosial, yaitu:
a.       Pengetahuan yang cukup mengenai nilai-nilai sosial dan kekhasan dalam masyarakat.
b.      Mempunyai kesempatan yang banyak untuk menerapkan kemampuannya.
c.       Mendapatkan kesempatan dalam hubungan sosial.
d.      Mempunyai dorongan untuk mencari pengalaman.
e.       Struktur kejiwaan yang sehat yang mendorong motivasi yang baik.
       Karena kondisi yang dialami oleh anak tunarungu sulit untuk mencapai kematangan oleh karenanya tidak jarang lingkungan memperlakukan mereka dengan tidak wajar. Hal ini akan menyebabkan mereka cenderung memiliki rasa curiga pada lingkungan, memiliki perasaan tidak aman dan memiliki kepribadian yang tertutup, kurang percaya diri, menafsirkan sesuatu secara negatif, memiliki perasaan rendah diri dan merasa disingkirkan, kurang mampu mengontrol diri dan cenderung mementingkan diri sendiri.


E.     Metode pembelajaran
Berikut metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh guru kepada anak tunarungu, yaitu (Kurnaeni : 2011) :
1.    Belajar Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Belajar melalui membaca ujaran adalah belajar dimana anak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir. Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini. Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).


2.    Belajar Melalui Pendengaran.
Belajar melalui pendengaran dimana individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran.
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan baterai dan earmould yang tidak cocok.
3.    Belajar secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif. Komponen bahasa isyarat meliputu:
a.    Abjad jari ( finger spelling ), adalah jenis isyarat yang dibentuk dengan jari-jari tangan untuk menggambarkan abjad atau untuk mengeja huruf dan angka.
b.    Ungkapan badaniah/bahasa tubuh, meliputi keseluruhan ekspresi tubuh, seperti sikap tubuh, ekspresi muka ( mimik ), pantomimik, dan gesti atau gerakan yang dilakukan seseorang secara wajar dan alami.
c.    Bahasa isyarat asli, yaitu suatu ungkapan manual dalam bentuk isyarat konvensional yang berfungsi sebagai pengganti kata, yang disepakati oleh kelompok atau daerah tertentu. Secara garis besar, bahasa isyarat asli dibedakan menjadi 2, yaitu:
1)   Bahasa isyarat alamiah
2)   Bahsa isyarat konseptual
d.   Bahasa isyarat formal, yaitu bahasa nasional dalam isyarat yang biasanya menggunakan kosakata isyarat dengan struktur bahasa yang sama persis dengan bahasa lisan.
Ketiga metode pengajaran di atas dapat digabungkan dengan metode pembelajaran yang sama dengan sekolah umum, contohnya metode tanya jawab, demonstrasi, dan sebagainya.
       Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
a.       Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
b.      Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
c.       Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
d.      Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
e.       Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
f.       Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
       Dibawah ini adalah salah satu pembelajaran bagi anak tunarungu dalam mempelajari huruf-huruf vokal :       


Metode komunikasi
a.       Metode Oral
Metode oral adalah metode berkomunikasi dengan cara yang lazim digunakan oleh orang mendengar, yaitu melalui bahasa lisan. Pelaksanaan metode ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu pembentukan dan latihan berbicara (speech building and speech training ) membaca ujaran (speech reading ) , dan latihan pendengaran (hear training ).
b.      Metode Membaca Ujaran
Anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menyimak pembicaraan melalui pendengarannya. Oleh karena itu, ia dapat memanfaatkan penglihatannya untuk memahami pembicaraan orang lain melalui gerak bibir dan mimik pembicara. Kegiatan ini disebut membaca ujaran (speech reading).
c.   Metode Manual( Isyarat)
1)      Abjad jari (finder spelling), adalah jenis isyarat yang dibentuk dengan jari-jari tangan.
2)      Ungkapan badaniah/ bahasa tubuh.
3)     c Bahasa isyarat asli, yaitu suatu ungkapan manual dalam bentuk isyarat konvensional yang berfungsi sebagai pengganti kata
a)      Bahasa isyarat alamiah, yaitu bahasa isyarat yang berkembang secara alamiah di antara kaum tunarungu (berbeda dari bahasa tubuh) yang merupakan suatu ungkapan manual ( dengan tangan) sebagai pengganti kata yang pengenalan atau penggunaannya terbatas pada kelompok atau lingkungan tertentu.
b)      Bahasa isyarat konseptual, merupakan bahasa isyarat yang resmi digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah yang menggunakan metode manual atau isyarat.
4)      Bahasa isyarat formal, yaitu bahasa nasional dalam isyarat yang biasanya menggunakan kosakata isyarat dengan stuktur bahasa yang sama persis dengan bahasa lisan.
d.   Komunikasi Total
Komunikasi total merupakan suatu falsafah yang memungkinkan terciptanya iklim komunikasi yang harmonis, dengan menerapkan berbagai metode dan media komunikasi, seperti sistem isyarat, ejaan jari, bicara, membaca ujaran, amplifikasi (pengerasan suara dengan menggunakan alat bantu dengar), gesti, pantomimik, menggambar, menulis, serta pemanfaatan sisa pendengaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan tunarungu secara perorangan.


Strategi dan Media Pembelajaran
a.      Strategi pembelajaran
1)      Strategi individualisasi
Strategi individualisasi merupakan strategi pembelajaran dengan mempergunakan suatu program yang disesuaikan dengan perbedaan individu baik karakteristik, kebutuhan maupun kemampuan secara perseorangan.
2)      Strategi kooperatif
Strategi kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menekankan unsur gotong royong atau saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Johnson, D.W. & Johnson (1984:10) dalam strategi pembelajaran kooperatif terdapat empat elemendasar yaitu :
a)      Saling ketergantungan positif
b)      Interaksi tatap muka antarsiswa sehingga mereka dapat berdialog dengan sesama lain.
c)      Akuntabilitas individual.
d)     Keterampilan menjalin hubungan interpersonal.
3)      Strategi modifikasi perilaku
Strategi modifikasi perilaku merupakan suatu bentuk strategi pembelajaran yang bertolak dari pendekatan behavioral (behavioral approach).strategi ini bertujuan untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang lebih positif melalui conditioning (pengondisian) dan membantunya agar lebih produktif sehingga menjadi individu yang mandiri.
b.      Media pembelajaran
Media pembelajaran dikelompokkan kedalam media visual, audio, dan audio-visual. Media visual yang dapat dipergunakan dalam pembelajaran anak tunarungu antara lain berupa gambar, grafis ( grafik, bagan, diagram, dan sebagainya); relita atau objek nyata dari suatu benda ( mata uang, tumbuhan,dsb); model atau tiruan dari objek benda dan slides.


Sarana Prasarana untuk peserta didik Tunarungu
Assesmen kelainan pendengaran digunakan untuk mengukur kemampuan mendengarkan, menentukan tingkat sumber bunyi, dan kekuatan bunyi.
Alat Assesmen:
        SCAN TEST (alat untuk mendeteksi pendengaran)
        BUNYI –BUNYIAN(segala alat yang dapat menimbulkan bunyi)
        GARPUTALA(pengukur tinggi nada)
        AUDIOMETER & BLANGKO AUDIOGRAM
        MOBILE SOUND PROOF
        SOUND LEVEL METER
Alat Bantu Dengar ( Hear Aid)
Untuk membantu pendengaran digunakan alat bantu berikut
        Model saku
        Model telinga belakang
        Model dalam telinga
        Model kaca mata
Untuk membantu pendengaran dalam proses pembelajaran:
        Hearing Group
        Loop Induction System
Latihan bina persepsi bunyi dan irama
          Anak  tunarungu biasanya memiliki gangguan dan hambatan dalam berkomunikasi dan bahasa. Untuk membantunya digunakan alat bantu sebagai berikut:
          Cermin, alat latihan meniup (seruling, terompet,kapas, peluit), alat musik perkusi, sikat getar, lampu aksen, meja latihan wicara, Speech and Sound Simulation, Spatel.
Alat Latihan Fisik
Untuk mengembangkan kemampuan fisik anak tunarungu. Alat – alat yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut:
Bola, net voly, bola sepak, meja tenis, raket, net bulu tangkis, suttle cock, power rider, static bycicle



   Tempat/ Sistem Layanan
a.      Tempat khusus/ sistem segregasi
Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari system pendidikan anak normal.
1.      Sekolah khusus
Sekolah khusus bagi anak tunarungu disebut Sekolah Luar Biasa Bagian B ( SLB-B). Adapun  jenjang pendidikannya meliputi TKLB-B dengan lama pendidikan 1-3 tahun, SDLB-B setingkat dengan  SD 6 tahun, SLTPLB-B merupakan pendidikan semi kejuruan dengan lama pendidikan 3 tahun, SMLB-B merupakan pendidikan kejuruan setingkat SLTA dengan lama pendidikan3 tahun.
2.      Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB adalah sekolah pada tingkat dasar yang menampung berbagai jenis kelainan, seperti anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa dalam satu sekolah.
3.      Kelas Jauh/ Kelas Kunjung
Kelas jauh adalah kelas yang dibentuk atau disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak tunarungu yang bertempat tinggal jauh dari SLB/ SDLB.

b.      Di Sekolah Umum /Sistem Integrasi
1.      Bentuk kelas biasa, dalam bentuk kelas ini anak tunarungu mengikuti semua kegiatan belajar mengajar dikelas biasa seperti anak normal lainnya dengan menggunakan kurikulum biasa.
2.      Bentuk  kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus
Disini anak tunarungu mengikuti kegiatan belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti layanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak biasa diikuti oleh anak tunarungu bersama anak mendengar. 
             


F.     Layanan bimbingan bagi anak tuna rungu
1.      Jenis layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu meliputi layanan umum dan khusus.
a.    Layanan umum
Layanan umum merupakan layanan pendidikan yang biasa diberikan kepada anak mendengar atau normal yang meliputi layanan akademik, latihan dan bimbingan. Layanan akademik bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan layanan akademik bagi anak mendengar, yaitu mencakup mata-mata pelajaran yang biasa diberikan di SD biasa, tetapi terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ciri khas layanan bagi anak tuna rungu. Layanan bimbingn trutama diperlukan dalam mengatasi dampak kelainan terhadap aspek psikologisnya, serta pengembangan sosialisai siswa.
b.    Layanan khusus
Layanan khusus merupakan layanan yang khusus diberikan kepada anak tunarungu dalam mengurangi  dampak ketunarunguannya atau melatih kemampuan yang masih ada, yang meliputi layanan bina bicara serta layanan bina persepsi bunyi dan irama.
c.    Layanan bina bicara
Layanan bina bicara merupakan layanan upaya untuk meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dalam rangkaian kata-kata, agar dapat dimengerti atau diinterpretasika oleh orang yang mengajak atau diajak bicara.
Latihan bina bicara bertujuan antara lain agar anak tuna rungu memiliki dasar ucapan yang benar sehingga dapat dimengerti orang lain, memberi keyakinan pada anak tuna rungu bahwa bunyi atau suara yang yang diproduksi melalui organ bicaranya harus mempunyai makna, membedakan ucapan yang satu dengan ucapan yang lainnya, serta memfungsikan organ-organ bicaranya yang kaku.
d.   Layanan bina persepsi bunyi dan irama
Layanan bina persepsi bunyi dan irama merupakan layanan untuk melatih kepekaan terhadap bunyi dan irama melalui sisa pendengaran atau merasakan vibrasi ( getaran bunyi ) bagi siswa yang hanya memiliki sedikit sekali sisa pendengaran.

LAYANAN PENDIDIKAN FORMAL DAN INFORMAL YANG DISEDIAKAN UNTUK TUNARUNGU DI INDONESIA
Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum, dan pedagogis.
Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan umum dan khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi dan irama. 
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem sgregasi merupakan system pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem Pendidikan intergrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.
Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan siswa tunarungu. 
Pada dasarnya tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran siswa tunarungu sama dengan siswa mendengar atau normal, yaitu untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran, serta untuk umpan balik bagi guru. Kegiatan evaluasi bagi siswa tunarungu, harus memperhatikan prinsip-prinsip: berkesinambungan, menyeluruh, objektif, dan pedagogis. Sedangkan alat evaluasi secara garis besar dibagi atas dua macam, yaitu alat evaluasi umum yang digunakan dalam pembelajaran di kelas biasa dan alat evaluasi khusus yang digunakan dalam pembelajaran di kelas khusus dan ruang bimbingan khusus. 


Sistem Layanan
Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum, dan pedagogis.
Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan umum dan khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi dan irama.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem segregasi merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem Pendidikan intergrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.
Pada realitanya, pelaksaan sistem integrasi ini masih sangat terbatas untuk penyandang kelainan yang termasuk kategori yang ringan, dan hanya bagi mereka yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh sekolah reguler yang akan menerimanya. Jadi masih ada diskriminasi pelayanan pendidikan (Ekslusif), karena tidak semua penyandang kelainan dapat menikmati sistem pendidikan integrasi tersebut.
Pada era globalisasi ini, promosi penegakan Hak Asasi Manusia semakin marak dalam kehidupan masyarakat demokratis di Indonesia, yaitu munculnya pandangan baru bahwa semua penyandang kelainan khusunya tunarungu mempunyai hak yang sama untuk dididik bersama-sama dengan teman sebayanya di sekolah reguler. Dengan kata lain anak tunarungu tidak boleh ditolak untuk belajar di sekolah umum yang mereka inginkan. Sistem pendidikan semacam ini, kita kenal dengan pendidikan inklusi.

Kebutuhan Pendidikan dan Layanan Bimbingan Bagi Tunarungu
1.    Kebutuhan pendidikan
a.  Landasan agama
b.    Landasan kemanusiaan
c.  Landasan hukum
d.   Landasan pedagogis
2.  Layanan bagi anak tuna rungu
a.    Jenis layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu meliputi layanan umum dan khusus.
1)        Layanan umum
Layanan umum merupakan layanan pendidikan yang biasa diberikan kepada anak mendengar atau normal yang meliputi layanan akademik, latihan dan bimbingan. Layanan akademik bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan layanan akademik bagi anak mendengar, yaitu mencakup mata-mata pelajaran yang biasa diberikan di SD biasa, tetapi terdpat hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ciri khas layanan bagi anak tuna rungu. Layanan bimbingn trutama diperlukan dalam mengatasi dampak kelainan terhadap aspek psikologisnya, serta pengembangan sosialisai siswa.
2)        Layanan khusus
Layanan khusus merupakan layanan yang khusus diberikan kepada anak tunarungu dalam mengurangi  dampak ketunarunguannya atau melatih kemampuan yang masih ada, yang meliputi layanan bina bicara serta layanan bina persepsi bunyi dan irama.
        Layanan bina bicara
Layanan bina bicara merupakan layanan upaya untuk meningkatkan kemampuan anak tunarungu dalam mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dalam rangkaian kata-kata, agar dapat dimengerti atau diinterpretasika oleh orang yang mengajak atau diajak bicara.
Latihan bina bicara bertujuan antara lain agar anak tuna rungu memiliki dasar ucapan yang benar sehingga dapat dimengerti orang lain, memberi keyakinan pada anak tuna rungu bahwa bunyi atau suara yang yang diproduksi melalui organ bicaranya harus mempunyai makna, membedakan ucapan yang satu dengan ucapan yang lainnya, serta memfungsikan organ-organ bicaranya yang kaku.
        Layanan bina persepsi bunyi dan irama
Layanan bina persepsi bunyi dan irama merupakan layanan untuk melatih kepekaan terhadap bunyi dan irama melalui sisa pendengaran atau merasakan vibrasi ( getaran bunyi ) bagi siswa yang hanya memiliki sedikit sekali sisa pendengaran.
b.        Tempat atau sistem layanan
1)    Tempat khusus atau sistem segregasi
Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak tunarungu melalui sistem segregasi, maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan tersebut dilaksanakan di tempat khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untk anak mendengar atau anak normal dengan memiliki kurikulum sendiri. Tempat pendidikan melalui sistem segregasi dapat dikemukakan sebagai berikut:
        Sekolah khusus
sekolah khusus bagi anak tunarungu disebut Sekolah Luar Biasa Bagian B ( SLB-B ).
        Sekolah Dasar Luar Biasa ( SDLB )
SDLB adalah sekolah pada tingkat dasar yang menampung berbagai jenis kelainan, seperti anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tuna daksa dalam satu sekolah.
        Kelas jauh atau kelas kunjung
kelas jauh adalah kelas yang dibentuk atau disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak tunarungu yang bertempat tinggal jauh dari SLB/SDLB.
2)        Sekolah umum atau sistem integrasi
Sistem pendidikan integrasi merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama-sama dengan anak mendengar atau normal di sekolah umum atau sekolah biasa. Depdiknas ( 1986 ) mengelompokkan bentuk-bentuk keterpaduan tersebut menjadi :
        Bentuk kelas biasa
        Bentuk kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus
        Bentuk kelas khusus
c.         Metode komunikasi
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam berkomunikasi dengan anak tunarungu, yaitu :
1)        Metode oral
adalah metode berkomunikasi dengan cara yang lazim digunakan oleh orang yang mendengar, yaitu melalui bahasa lisan.
2)        Metode membaca ujaran
Anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menyimak pembicaraan melalui pendengarannya. Oleh karena itu, ia dapat memanfaatkan penglihatnnya untuk memahami pembicaraan orang lain melalui gerak bibir dan mimik si pembicara.
3)        Metode manual ( isyarat )
Metode manual yaitu metode komunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat dan ejaan jari ( finger spinding ). Komponen bahasa isyarat meliputi :
        Abjad jari ( finger spelling ), adalah jenis isyarat yang dibentuk dengan jari-jari tangan untuk menggambarkan abjad atau untuk mengeja huruf dan angka.
        Ungkapan badaniah/bahasa tubuh, meliputi keseluruhan ekspresi tubuh, seperti sikap tubuh, ekspresi muka ( mimik ), pantomimik, dan gesti atau gerakan yang dilakukan seseorang secara wajar dan alami.
        Bahasa isyarat asli, yaitu suatu ungkapan manual dalam bentuk isyarat konvensional yang berfungsi sebagai pengganti kata, yang disepakati oleh kelompok atau daerah tertentu. Secara garis besar, bahasa isyarat asli dibedakan menjadi 2, yaitu:
           Bahasa isyarat alamiah
           Bahsa isyarat konseptual
        Bahasa isyarat formal, yaitu bahasa nasional dalam isyarat yang biasanya menggunakan kosakata isyarat dengan struktur bahasa yang sama persis dengan bahasa lisan.

4)        komunikasi total
dengan komunikasi total setiap anak tunarungu memiliki kesempatan mengembangkan setiap sisa pendengarannya dengan alat bantu dengar dan atau sistem terpercaya untuk memperbesar kemampuan mendengarnya ( high fidality group amplification system ) ( Denton, 1970, hlm.3 )
d.        strategi dan media pembelajaran
1)        strategi pembelajaran
strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran anak tunarungu, yaitu meliputi: 
        Strategi individualisasi
Merupaka strategi pembelajaran dengan mempergunakan suatu program yang disesuaikan dengan perbedaan individu, baik karakteristik, kebutuhan maupun kemampuannya secara perorangan.
        Strategi kooperatif
Merupakan strategi pembelajaran yang menekankan unsur gotong royong atau saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan pembelajaran.
        Strategi modifikasi perilaku
Strategi ini bertujuan untuk mengubah perilku siswa ke arah yang lebih positif melalui conditioning ( pengondisian ) dan membantunya agar lebih produktif sehingga menjadi individu yang mandiri.
2)        Media pembelajaran
Media yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak tunarungu, lebih menekankan pada media yang bersifat visual. Bagi anak tunarungu yang tergolong kurang dengar, dapat digunakan pula media audio dan audiovisual, tetapi keterserapan pada unsur audionya terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar